Belajar Gengsi dari Asnawi (Sarjana Penjual Gorengan)

Indonesia patut bangga. Saat sebagian besar anak muda merasa GENGSI dengan gadget model lama, atau model fashion yang sudah bukan trend-nya. Pemuda asal Bangka ini justru melupakan GENGSInya untuk berjualan gorengan di antara kesibukannya menimba ilmu di bangku kuliah.
Ya, jika grup band Gigi punya 11 Januari, maka Asnawi punya 11 Februari sebagai hari bersejarahnya. Resmi menjadi Sarjana Ekonomi dengan IPK 3,39 dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia tidak hanya membuktikan bahwa semua orang berhak mengubah nasibnya. Bahwa siapapun bisa sukses asal ada kemauan. Bahwa masih banyak generasi kita yang bermental pejuang. Suatu sikap mental yang mulai luntur, bahkan butuh usaha yang tak sedikit untuk mengupayakannya.
Sumber gambar : Hipwee
Perjalanan Asnawi, Sarjana Penjual Gorengan.
Sempat putus sekolah selepas menamatkan pendidikan di jenjang menengah pertama. Asnawi tak gentar untuk kembali ke bangku SMA saat usianya tak semuda teman-temannya. Di bangku SMA inilah niatnya untuk mencicipi pendidikan di Kota Pelajar mulai tumbuh.  Berkat program pertukaran pelajar yang diikutinya pada tahun 2010. 
Berbekal kemauan dan komitmen yang tinggi dan disiplin diri. Asnawi sangat lihai membagi waktu antara berbelanja kebutuhan berdagang, kuliah, menjajakan gorengannya, belajar dan tak lupa ibadah. Saya kira manajemen waktunya sangat ketat, padat namun tebukti membawa manfaat. 
Masih berbekal impian yang suci, Asnawi berencana untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang S-2 ke luar negeri. Meskipun untuk saat ini dia ingin pulang kampung dulu. Berharap bisa bekerja di daerah asalnya dan membantu usaha orang tua. Sembari mencari peluang untuk mendapatkan beasiswa S-2. 
Ulet, berkemauan dan tak kenal gengsi. Maka tak salah jika kita aminkan cita-citanya menjadi presiden di tanah pertiwi. Amin.. Karena semua berawal dari MIMPI. Bahkan saat sebagian orang mulai ragu dengan mimpi-mimpinya, Asnawi berani mengucapkan impian ini.
GENGSI Tak Membuat Hidupmu BerGENGSI
Belajar dari pengalaman Asnawi, atau Asnawi-Asnawi lain di seluruh penjuru negeri ini. Saya merasa perlu untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa gengsi tak dapat membeli apapun, terlebih mimpi-mimpi masa kecil saya. Gengsi tidak akan membuat hidup saya lebih bergengsi. 
Ya, saya juga manusia biasa yang sering khilaf. Sering kali saya nggak mau yang inilah, itulah. Alasannya ecek-ecek banget. GENGSI! Saat sudah berkepala tiga dan beranak dua pun, saya masih sering menjadikan gengsi sebagai alasan yang paling klasik. *tutupmuka. Nauzubillah, semoga anak-anak tidak menurun sifat buruk saya.
Menumbuhkan Mental Pejuang pada Anak
Sebenarnya, semenjak kecil saya sudah dididik jauh dari sikap gengsi. Dibesarkan seorang ibu single parent dengan 4 orang anak. Bekerja membantu ibu saya menggoreng tempe, tahu dan heci (bakwan sayur) sejak kelas 6 SD. Saya merasa mulai kebal dengan budaya gengsi.
Namun begitulah mengapa Tuhan membekali manusia dengan akal dan nafsu. Ada saatnya nafsu mengalahkan akal sehat saya. Ketika merasakan hidup sedikit membaik, penghasilan lumayan dan cukup untuk sedikit merubah gaya. Maka saya pun berpikir mampu membeli gengsi. Satu bentuk kebodohan yang tak ingin saya ulangi.
Kini, tak ubahnya orang tua dulu mendidik. Saya pun bertekad menjauhkan anak-anak dari budaya GENGSI.  Bersyukur kemauan ini di-aminkan oleh suami. Sehingga kami tak perlu berkompromi satu sama lain. Menumbuhkan mental pejuang pada anak-anak menjadi sangat penting di tengah gempuran  hedonisme, budaya konsumtif dan pencitraan yang tak kunjung berhenti.
Anak harus dilatih menghadapi kehidupan yang sesungguhnya di luar sana. (Gamar : Pixabay)
Kami merasa sadar sebagai orang tua masih fakir ilmu, jauh dari sempurna. Tapi bersama anak-anaklah kami belajar. Banyak hal ingin kami tanamkan, ajarkan dan tumbuh kembangkan pada anak. Tapi untuk urusan sikap mental, kami sadar harus menjadi prioritas.
Pembentukan mental anak bukan hanya dasar, namun juga modal bagi  untuk terjun dan survive dalam kehidupan yang sesungguhnya, yaitu lingkungan masyarakat luas. Bagaimana mereka harus menghadapi masalah, menyikapi perbedaan, menyelesaikan konflik, menerima kekalahan, memaknai kemenangan dan mensyukuri nikmat dari Tuhan.
Sikap-sikap dasar yang kami pun sebagai orang tua masih jauh dari panggang. Kami pun masih sering terbawa arus emosi, egois, frustasi, kurang kompromi. Yang nyata-nyata sama sekali tak menguntungkan untuk diikuti. Jadi menjauhkan anak-anak dari kebiasaan itu sungguh tantangan berat yang kami hadapi.
Masa depan tak dapat ditebak. Tugas orang tua menyiapkan anak untuk menghadapinya. ( Gambar : Pixabay)
Jadi berbahagialah teman-teman yang telah memiliki cukup ‘modal’ untuk putra-putrinya. Saya yakin, kita semua BISA karena TERBIASA. Dan MAMPU karena MAU BERUSAHA.
Selamat berjuang di medan laga kehidupan! ^_^

Leave a Comment