Selamat #HariGuru – Karena Kita Semua adalah Guru

Semenjak pagi, clang cling, WAG terus berbunyi. Saya baru sempat cek gadget sekitar jam 8 pagi, setelah mengantar Najwa, dan membuat Najib tenang dengan mainannya. Ratusan pesan di 2 grup WA, dan semuanya berisi senada, ucapan Selamat #HariGuru. 
Kebetulan dua grup WA tersebut memang dekat dengan dunia pendidikan. Satu grup WA sekolah Najwa, dan satu lagi grup alumni tempat kerja saya dulu.  Islamic International School – PSM, sekolah  yang didanai dan dirikan oleh Dahlan Iskan. Iya, yang mantan Dirut PLN itu, yang mantan Menteri BUMN, yang juga mantan CEO JAWA POS itu.  Beliau mendirikan sekolah di sebuah kota kecil, kampung halaman saya, di Magetan. Lain kali saya akan ceritakan tentang sekolah Pak Dis tersebut, tunggu ya :).
Balik lagi soal #HariGuru. Buat saya dan mungkin juga teman-teman semua, profesi guru akan selalu mulia dan terhormat, setuju, kan? Bayangkan saja, berkat  ilmu yang beliau bekalkan dan didikkan untuk muridnya, terlahirlah aneka profesi di dunia ini. Seorang guru akan tetap menjadi guru, atau pensiunan guru. Tapi seorang murid, bisa jadi hari ini telah menjadi presiden, direktur, artis terkenal, atau seiman kenamaan.
Bukannya saya mengesampingkan peran orangtua. Tapi, bukankah orangtua juga merupakan seorang guru? Guru pertama malahan, bagi anak-anaknya. Akur? Namun, saya agak miris juga ya, dengan banyaknya berita terkait penghinaan terhadap guru. Yang dilaporin ke polisi lah, yang rambutnya dipotong sama wali murid. Duhh prihatin, berat nian menjadi seorang guru di jaman ini.
Sebaliknya, banyak juga orang yang mengaku dirinya guru, tapi justru melakukan hal-hal yang tidak layak untuk dicontohkan seorang guru. Pencabulan contohnya. Bayangkan, betapa bengisnya makhluk yang melakukan hal itu.Layakkah disebut guru?
Ada apa sebenarnya dengan dunia ini? 
Sering saya merasa rindu pada masa-masa sekolah dulu. Saat dimana seorang guru begitu dihargai, dihormati, didengar dan diteladani. Saat nasihat seorang guru ibarat mantra, bahkan aji-aji (senjata). Bagi saya, guru itu ya orangtua saya ketika di sekolah. Adakalanya dididik, diingatkan, dimarahi, sampai sesekali dihukum. Yang pasti itu semua karena kebangetannya saya. Mungkin orangtua saya pun akan melakukan hal serupa jika saya melakukan hal yang tidak benar. 
Tapi, apakah kami mendendam? Justru, sekarang memori itu sungguh manis untuk dikenang. Saya merasa beruntung karena merasakan semua itu. Buat saya, saat itu adalah saat kami belajar ditempa. Nyatanya, tempaan hidup yang sebenarnya, jauh lebih berat dari hanya sekedar hukuman dari guru.
Begitu pun sebaliknya, guru-guru di jaman saya sekolah dulu. Entah mengapa selalu terlihat santun, bersahaja, ramah, dan kharismatik. Saya nggak bilang kalau guru jaman sekarang tidak meiliki standart itu. Kenyataannya teman-teman saya yang guru, lekat dengan label tersebut. Lalu? Mengapa sekarang ini banyak sekali permasalahan terkait murid dan guru?
Mungkin, sudah waktunya kita kembali menengok rumah. Karena rumah adalah sekolah yang pertama dan orangtua adalah guru yang utama. Seorang murid dilahirkan dari rumah, begitu pun seorang guru, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan rumah. Sistem pendidikan di rumah selalu menjadi dasar dan mengawal proses pendidikan dalam berbagai ruang, waktu dan skala yang  jauh lebih besar.
 
Sekarang, setelah menjadi orangtua. Saya merasakan betul, bahwa kita semua sebenarnya adalah guru. Dan memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal mendidik. Sebagai orangtua, jelas sudah kewajiban kita mendidik anak-anak. Maka dari itu kita disebut madrasah utama, sekolah pertama, atau apalah istilah lainnya.  Begitu pun dalam lingkungan bermasyarakat. Pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru atau orang yang berkompeten di bidang pendidikan.
Sejatinya kita semua adalah guru dan memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal mendidik. Karena pendidikan itu bukan hanya belajar di bangku sekolah. Bukan sekedar menulis atau membaca, dan tidak serumit matematika atau IPA. Terkadang, hal sesederhana berkata sopan kepada orangtua, menghormati lawan bicara, membuang sampah pada tempatnya, atau menjaga perasaan orang lain sering disepelekan. Padahal di situ tersirat dasar-dasar pendidikan dalam bermasyarakat.
Saya sangat mendukung kampanye  pendidikan dari rumah, apapun bentuknya. Sejurus dengan itu, saya sangat mengapresiasi orang-orang yang peduli dan merasa bertanggung jawab dengan pendidikan dalam masyarakat. Sungguh, mereka pun layak disebut guru.
Karena kita semua adalah guru, maka, sekecil apapun mari melibatkan diri  dalam proses pendidikan bangsa ini. Dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Mari mendidik dalam hal yang kita kuasai, dalam bidang yang kita cintai, dan dalam lingkungan tempat kita dinaungi. 
Selamat #HariGuru untuk para Guru di negeri ini. Teruslah berkarya, untuk teman-teman yang memilih mendidik dalam “sunyi”.

Leave a Comment