Ramadhan
selalu menghadirkan rindu. Rindu akan segala keistimewaan yang menjadikannya
berbeda dengan sebelas bulan lainnya. Rindu dengan suasana religi yang begitu
kental, terlebih karena kita hidup di negara yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam. Rindu dengan segala tradisi yang acap kali berbeda antara satu dan
lain tempat. Rindu akan keluarga besar, masa kecil, sahabat dan makanan kampung
yang berasa beda meskipun resep keluarga telah “diboyong” ke ibukota.
Ya,
begitulah Ramadhan. Kalau tak beda maka tak perlu menyebutnya istimewa sehingga sangat
dinantikan seluruh umat di seluruh penjuru dunia. Bahkan adzan Magrib yang
menggema saat senja mulai berubah warna, menjadi sebuah perantara akan memori
masa kecil yang tak sekedar berharga. Namun sarat dengan nilai moral dan
pendidikan dalam kehidupan nyata.
Dulu,
sore hari sebelum Magrib terakhir menjelang Ramadhan. Orang-orang tua selalu
mengingatkan kami untuk mandi keramas sebagai simbol menyucikan diri. Padusan,
sebuah tradisi membersihkan diri tidak hanya dari kotoran ataupun najis yang
menempel di badan, namun tradisi ini lebih pada simbol untuk membasuh segala
hal buruk yang melekat dalam diri, terlebih hati. Sehingga jasmani dan rohani bersih ketika melalui bulan suci.
Beberapa
hari sebelum bulan suci ini tiba, warga nampak berduyun-duyun menyambangi makam keluarganya. Tak
hanya mengirimkan doa sebagai inti dari ziarah kubur yang dilakukan. Besik kubur adalah tradisi lain yang urung dilewatkan. Membersihkan kotoran atau
bahkan sampah. Menyapu sekitar area makam, membersihkan nisan dengan lap kain basah, memotong rumput yang terlalu tinggi dan mengganggu peziarah.
Tak
lupa kembang tujuh rupa ditaburkan serta menyiram air di bagian atas nisan.
Meskipun kebiasaan ini sudah mulai ditinggalkan sebagian umat Islam. Tapi di
kampungku, hal serupa masih melekat erat dan selalu dilakukan peziarah yang
datang. Mungkin juga di kampung teman-teman.
Bagi
saya pribadi, berziarah kubur tidak hanya tentang mengingat kematian. Kerinduan
akan sosok almarhum papa sering kali menghadirkannya dalam mimpi-mimpi. Maka
mengunjungi “rumah barunya” menjadi sarana berkomunikasi, meskipun hanya
melalui lantunan ayat suci.
Selain
dua tradisi di atas, Megengan merupakan ritual lain yang sayang jika
dilewatkan. Kini, setelah tinggal di Jakarta dan menjadi orang tua. Saya sering
membayangkan alangkah senangnya jika
DuoNaj memiliki kesempatan membawa pulang nasi lengkap dengan lauk pauknya
dalam kotak kardus nasi.
Sepaket
nasi putih atau Nasi Gurih dengan Sayur Lodeh Kentang, Mi Goreng, Tempe Tahu
Bumbu Rujak, Telur rebus, Kerupuk Udang, Pisang dan Apem sungguh nikmat jika
dimakan bersama dengan teman-teman di masjid. Dulu, sebelum ada kotak kardus
nasi. Ibu selalu menggunakan Tebok atau nampan bulat dari anyaman bambu yang
dialasi daun pisang sebagai tempatnya.
Seiring
perkembangan zaman, penggunaan besek atau kotak anyaman bambu kecil mulai
digunakan meskipun tak berlangsung lama. Maraknya produk keranjang nasi dari plastik dan
kemudian kotak kardus telah menggeser segala keunikan masa lalu. Menggantinya
dengan dunia baru yang serba praktis dan katanya lebih higienis.
Segala
tradisi itu hanyalah segelintir kenangan masa kecil akan Ramadhan yang terlalu
lekat dalam hati. Buka bersama di masjid, berebut tempat dekat jendela saat
tarawih. Menelan sebagian
air mentah saat mengambil air wudlu atau mandi menjadi cerita tersendiri bagi
saya saat mulai menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Waktu
berlalu, kehidupan baru sebagai warga di ibukota membawa segudang cerita yang
sungguh berbeda. Tak ada lagi tawa ceria dan kenakalan anak-anak kampung di
masjid. Sebagai ibu, saya harus melihat DuoNaj melalui Ramadhan biasa-biasa
saja. Hampir tak ada tradisi khusus yang kami lalui selama Ramadhan. Jakarta
tetap “serba cepat” dan panas seperti hari biasa.
Tradisi
Ramadhan ala kampung boleh jadi terlewat bagi kami yang di kota. Tapi nilai dan
bagaimana memaknai Ramadhan harusnya bisa seragam bagi seluruh umat Islam.
Puasa bukan hanya tentang lapar dan haus selama seharian. Untuk kemudian
berpesta dengan aneka hidangan yang kerap kali berlebihan. Menuruti rasa
“ingin” di lidah dan otak. Bukan kebutuhan tubuh yang sebenarnya tak banyak
berbeda dengan hari biasa.
Ramadhan
adalah momentum pengendalian. Mengendalikan jiwa dan juga raga. Mengendalikan diri
untuk melawan hawa nafsu yang bisa jadi lebih dari sekedar untuk menyeruput
segelas kopi di pagi hari karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan. Tapi
mengendalikan hati, pikiran, mata, mulut dan tangan yang sering kali lebih
tajam dari ucapan lisan.
Sungguh
bahagia apabila diri mampu menuntaskan bulan ini dengan kemenangan. Bukan
semata-mata karena gegap gempita hari raya di ujung pergantian bulan. Namun
karena nilai, makna dan kemampuan mengendalikan diri yang harusnya tertinggal
bagi setiap muslim selama melalui ujian Ramadhan.
Nilai-nilai
yang membawa umat pada tujuan yang sama dalam kebaikan, kedamaian dan
ketentraman. Tanpa perlu mencari tahu tradisi seperti apa yang biasa dilakukan.
Besik, Padusan atau Megengan hanyalah simbol saja. Tanpa mengurangi kaidah kita
sebagai manusia yang berhijrah menuju kebaikan.
Selamat
menjalankan ibadah puasa, Temans! Semoga Ramadhan kali ini membawa ketentraman
yang selama ini mulai terusik. Dan menjadi awal baru dalam kehidupan ini (lagi). Happy Ramadhan!














