Parenting, Family Traveling, Woman Story

Belajar Gengsi dari Asnawi (Sarjana Penjual Gorengan)

|
Indonesia patut bangga. Saat sebagian besar anak muda merasa GENGSI dengan gadget model lama, atau model fashion yang sudah bukan trend-nya. Pemuda asal Bangka ini justru melupakan GENGSInya untuk berjualan gorengan di antara kesibukannya menimba ilmu di bangku kuliah.

Ya, jika grup band Gigi punya 11 Januari, maka Asnawi punya 11 Februari sebagai hari bersejarahnya. Resmi menjadi Sarjana Ekonomi dengan IPK 3,39 dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia tidak hanya membuktikan bahwa semua orang berhak mengubah nasibnya. Bahwa siapapun bisa sukses asal ada kemauan. Bahwa masih banyak generasi kita yang bermental pejuang. Suatu sikap mental yang mulai luntur, bahkan butuh usaha yang tak sedikit untuk mengupayakannya.

Sumber gambar : Hipwee

Perjalanan Asnawi, Sarjana Penjual Gorengan.

Sempat putus sekolah selepas menamatkan pendidikan di jenjang menengah pertama. Asnawi tak gentar untuk kembali ke bangku SMA saat usianya tak semuda teman-temannya. Di bangku SMA inilah niatnya untuk mencicipi pendidikan di Kota Pelajar mulai tumbuh.  Berkat program pertukaran pelajar yang diikutinya pada tahun 2010. 

Berbekal kemauan dan komitmen yang tinggi dan disiplin diri. Asnawi sangat lihai membagi waktu antara berbelanja kebutuhan berdagang, kuliah, menjajakan gorengannya, belajar dan tak lupa ibadah. Saya kira manajemen waktunya sangat ketat, padat namun tebukti membawa manfaat. 

Masih berbekal impian yang suci, Asnawi berencana untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang S-2 ke luar negeri. Meskipun untuk saat ini dia ingin pulang kampung dulu. Berharap bisa bekerja di daerah asalnya dan membantu usaha orang tua. Sembari mencari peluang untuk mendapatkan beasiswa S-2. 

Ulet, berkemauan dan tak kenal gengsi. Maka tak salah jika kita aminkan cita-citanya menjadi presiden di tanah pertiwi. Amin.. Karena semua berawal dari MIMPI. Bahkan saat sebagian orang mulai ragu dengan mimpi-mimpinya, Asnawi berani mengucapkan impian ini.


GENGSI Tak Membuat Hidupmu BerGENGSI

Belajar dari pengalaman Asnawi, atau Asnawi-Asnawi lain di seluruh penjuru negeri ini. Saya merasa perlu untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa gengsi tak dapat membeli apapun, terlebih mimpi-mimpi masa kecil saya. Gengsi tidak akan membuat hidup saya lebih bergengsi. 

Ya, saya juga manusia biasa yang sering khilaf. Sering kali saya nggak mau yang inilah, itulah. Alasannya ecek-ecek banget. GENGSI! Saat sudah berkepala tiga dan beranak dua pun, saya masih sering menjadikan gengsi sebagai alasan yang paling klasik. *tutupmuka. Nauzubillah, semoga anak-anak tidak menurun sifat buruk saya.


Menumbuhkan Mental Pejuang pada Anak

Sebenarnya, semenjak kecil saya sudah dididik jauh dari sikap gengsi. Dibesarkan seorang ibu single parent dengan 4 orang anak. Bekerja membantu ibu saya menggoreng tempe, tahu dan heci (bakwan sayur) sejak kelas 6 SD. Saya merasa mulai kebal dengan budaya gengsi.

Namun begitulah mengapa Tuhan membekali manusia dengan akal dan nafsu. Ada saatnya nafsu mengalahkan akal sehat saya. Ketika merasakan hidup sedikit membaik, penghasilan lumayan dan cukup untuk sedikit merubah gaya. Maka saya pun berpikir mampu membeli gengsi. Satu bentuk kebodohan yang tak ingin saya ulangi.

Kini, tak ubahnya orang tua dulu mendidik. Saya pun bertekad menjauhkan anak-anak dari budaya GENGSI.  Bersyukur kemauan ini di-aminkan oleh suami. Sehingga kami tak perlu berkompromi satu sama lain. Menumbuhkan mental pejuang pada anak-anak menjadi sangat penting di tengah gempuran  hedonisme, budaya konsumtif dan pencitraan yang tak kunjung berhenti.

Anak harus dilatih menghadapi kehidupan yang sesungguhnya di luar sana. (Gamar : Pixabay)


Kami merasa sadar sebagai orang tua masih fakir ilmu, jauh dari sempurna. Tapi bersama anak-anaklah kami belajar. Banyak hal ingin kami tanamkan, ajarkan dan tumbuh kembangkan pada anak. Tapi untuk urusan sikap mental, kami sadar harus menjadi prioritas.

Pembentukan mental anak bukan hanya dasar, namun juga modal bagi  untuk terjun dan survive dalam kehidupan yang sesungguhnya, yaitu lingkungan masyarakat luas. Bagaimana mereka harus menghadapi masalah, menyikapi perbedaan, menyelesaikan konflik, menerima kekalahan, memaknai kemenangan dan mensyukuri nikmat dari Tuhan.

Sikap-sikap dasar yang kami pun sebagai orang tua masih jauh dari panggang. Kami pun masih sering terbawa arus emosi, egois, frustasi, kurang kompromi. Yang nyata-nyata sama sekali tak menguntungkan untuk diikuti. Jadi menjauhkan anak-anak dari kebiasaan itu sungguh tantangan berat yang kami hadapi.

Masa depan tak dapat ditebak. Tugas orang tua menyiapkan anak untuk menghadapinya. ( Gambar : Pixabay)


Jadi berbahagialah teman-teman yang telah memiliki cukup 'modal' untuk putra-putrinya. Saya yakin, kita semua BISA karena TERBIASA. Dan MAMPU karena MAU BERUSAHA.

Selamat berjuang di medan laga kehidupan! ^_^





Permasalahan yang Kerap Dihadapi Ibu saat Menyapih

|



Sudah dua kali menyapih, ternyata tak membuat saya bebas dari permasalahan seputar sapih-menyapih. Empat tahun yang lalu, saat menyapih Najwa, bisa dibilang permasalahannya tidak terlalu berarti. Selain karena anaknya lebih mudah disapih dibanding adiknya. Najwa juga sudah mulai mengonsumsi susu botol. Ya, saya ibu yang gagal memberi ASIX pada anak perempuannya.*senyumkalem


Menyapih Anak Pertama.

Soal sapih menyapih, bisa dibilang sangat mudah bagi saya menyapih Najwa. Meskipun masih menggunakan cara lama, saya pakai plester saat menyapih Najwa. Tapi, Najwa bisa diberi pengertian sejak kecil. Sehingga dia dengan mudah langsung bilang, "nggak mau nenen lagi, karena nenen ibuk sakit." Cukup sekali plester, tanpa perlu rayuan dari ayahnya yang saat itu masih tinggal terpisah dari kami berdua.

Masalah setelah menyapih pun cenderung ringan. Najwa tak mengalami perubahan emosi pasca disapih, atau memiliki rutinitas baru seperti halnya Najib. Semua berjalan seperti biasa tanpa ada acara rewel berkepanjangan. Saya pun hanya dua kali mengalami bengkak pada payudara. Sekali di kantor, yang kedua pas sedang perjalanan dinas ke luar kota. Lumayan bikin keringat dingin yang kedua. Karena saat itu saya sedang menghadiri rapat dengan BOD.

Secara psikis, saya pun tidak terlalu galau pasca menyapih. Kalau perasaan ada yang kurang atau kangen suasana menyusui, itu sudah pasti ada. Saya yakin semua ibu menyusui pasti merindukan masa-masa itu. Hanya saja karena saat itu pekerjaan saya sangat padat, perhatian saya banyak teralihkan dengan dateline dan tugas-tugas kantor yang lain.


Menyapih Anak Kedua

Nah, lain anak lain pula pengalamannya. Meskipun berasal dari perut yang sama, yang sampai hari ini masih bergelambir lemak di mana-mana. Lah ... Malah tsurhat. *nyengir. Tapi tantangan yang saya hadapi saat menyapi anak kedua totally different dengan anak pertama.

Kalau dibilang karena faktor kedekatan yang berbeda, sebenarnya nggak juga. Meskipun saat Najwa kecil saya bekerja dan memakai jasa pengasuh untuk membantu merawatnya. Saya dan Najwa nggak pernah kekurangan quality time berdua. Tapi, beda memang saat anak kedua ini. Selain saya full di rumah, kami hanya tinggal berempat, tanpa ART atau anggota keluarga lain. Otomatis sejak lahir sampai hari ini Najib lebih banyak nempel saa saya. Faktor ini mungkin yang menyebabkan dia tidak hanya dekat, tapi cenderung tergantung sama saya. Akhirnya drama menyapih pun menjadi luar biasa.

Oh ya, cerita mengenai menyapih anak kedua ini sudah sata share di blog post Lika-Liku Menyapih Anak, ya.  Begitu pun mengenai tumbuh kembangnya pasca disapih. Sudah saya posting juga dengan judul "Najib dan Tumbuh Kembangnya Pasca Disapih". Silakan berkunjung ke sana untuk membaca sedikit pengalaman saya bersama anak kedua.

Permasalahan yang Dihadapi Ibu saat Menyapih

Penting banget bagi teman-teman yang berencana menyapih, untuk menjaga kondisi tubuh selalu fit. Atau menunda sementara rencana menyapih saat kondisi baik ibu maupun anak sedang kurang baik. Mengapa? Karena saat proses menyapih, biasanya baik ibu maupun anak akan mengalami beberapa masalah. Terlebih bagi ibu, yang kadang harus demam akibat payudara yang bengkak.

Permasalahan ini tidak selalu terjadi pada setiap ibu yang menyusui. Tapi berdasarkan pengalaman saya menyapih dua anak, juga cerita sesama busui. Setidaknya ada 3 masalah yang kerap dialami ibu pasca menyapih.

1. Payudara bengkak

Sumber gambar : Vemale(dot)com


Kondisi ini hampir pernah dialami oleh semua ibu menyusui. Payudara bengkak, akibat ASI terlalu penuh. Menurut ibu-ibu yang menyapih dengan cara perlahan atau WWL, masalah ini umumnya jarang terjadi. Ya, karena pengosongan payudara terjadi secara perlahan. Seiring berkurangnya frekuensi menyusu, maka rangsangan pada kelenjar payudara pun menurun. Sehingga secara otomatis produksi ASI menurun dan pengosongan payudara pun terjadi.

Namun, tak sedikit juga yang mengalami pembengkakan pada payudaranya pasca menyapih. Saya pun mengalaminya saat menyapi anak pertama dan kedua. Pada saat menyapih anak kedua bahkan berlangsung hingga hampir dua minggu. Setiap 2 hari sekali payudara terasa berat dan panas. Bahkan sempat jatuh sakit dan demam.

Solusinya

- Kompres dingin dan hangat secara bergantian

Untuk mengurangi rasa sakit akibat bengkak pada payudara, saya melakukan kompres dingin dan hangat secara bergantian. Kompres dingin untuk mengurangi nyeri dan panas. Sedangkan kompres hangat untuk mengendurkan kelenjar payudara yang menegang. Cara ini lumayan efektif dan dapat menimbulkan rasa nyaman.

- Perah ASI sedikit untuk mengurangi isinya

Secara teori sih, kalau payudara diperah justru akan memicu produksinya. Tapi saya nekat saja, memerah sedikit untuk mengurangi isinya. Saya lakukan saat payudara terasa mulai membengkak saja, dan nggak sampai benar-benar kosong. Hanya 100-150 ml saja. Lumayan membantu mengurangi rasa sakit. Selama dua minggu, 4 kali saya memerah ASI. Selebihnya payudara sudah terasa semakin kosong. Jadi nggak bengkak lagi.

2. Emosi tidak stabil

Kelelahan dan emosi tidak stabil. (sumber gambar: Vemale(dot)com)


Seperti halnya saat mulai memberi ASI, saat menyapih pun kondisi emosi ibu sering tidak stabil. Ada rasa bersalah atau kehilangan. Faktor perubahan hormon pada ibu pun memiliki pengaruh besar pada perubahan emosi ini. Jujur untuk masalah yang kedua ini saya mengalaminya. Makanya saya sampai dua kali gagal menyapih, baru yang ketiga berhasil. Itupun berkat dorongan dengan sedikit dipaksa suami.

Momen bercanda bersama anak saat menyusu selalu membuat rindu. Belum lagi kalau anak rewel atau sakit, saya masih sering merasa bersalah, karena tidak dapat mendekapnya sambil menyusui. Situasi seperti ini sering kali memuat emosi naik turun. Sebentar tenang, tiba-tiba diam dan menangis.

Solusinya

Selalu bersikap tenang, terlebih saat anak rewel. Usahakan untuk menarik napas dalam-dalam. Hibur diri sendiri dan yakinlah bahwa ini hanya sementara. Minta bantuin suami saat anak mulai rewel, cara ini bisa sedikit mengalihkan perhatian kita pada rasa bersalah.

Istirahat cukup, kondisi fisik yang lelah sangat mudah memicu emosi ibu. Usahakan ikut tidur saat anak tidur. Tidak perlu lama, yang penting cukup untuk mengembalikan stamina. Selebihnya kita bisa melakukan aktivitas yang disukai untuk membuat suasana hati pulih kembali.

3. Perubahan berat badan



Pasca menyapih, berat badan ibu bisa saja naik atau bahkan turun.  Hal ini dipengaruhi metabolisme tubuh dan aktivitas masing-masing ibu. Kalau saya cenderung naik *tutupmuka.

Solusinya

Jaga pola makan dan aktif bergerak. Sepertinya dua cara ini paling ampuh membabat habis lemak di sekujur tubuh ibu-ibu bergajih seperti saya. Uhuk... Tapi, berdasarkan pengalaman anak pertama sih, ini tidak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah menyapih Najwa dulu, berat badan saya normal kembali. Malahan cenderung lebih langsing. Semoga kali ini jadi langsing juga. 

Bisa jadi perubahan berat badan ini dipengaruhi faktor hormon dan psikis. Segera setelah hormon tubuh kembali normal, pikiran lebih tenang dan terbentuk ritme baru yang lebih bersahabat. Maka berat badan pun akan kembali ideal. I Hope...


Nah, demikian pengalaman saya setelah melalui dua kali menyapih. Saya sarankan teman-teman pakai metode WWL aja sih, karena lebih aman dan nyaman untuk ibu dan anak. 

Kalau teman-teman bagaimana pengalamannya? Boleh share, dong! ^_^




Najib dan Tumbuh Kembangnya Pasca Disapih

|

Hari pertama pasca disapih, saya merasa surprise dengan aksinya mengayuh/menggowes sepeda. Tiba-tiba saja Najib turun dari gendongan ayahnya, berjalan menuju tempat sepedanya diparkir berjejer dengan dua sepeda lainnya. 

Tidak seperti biasanya, dia langsung naik dan menggowes. Wah, Adik hebat! begitu seru kami secara bersamaan. Najib memang mulai tertarik bersepeda sejak mulai lancar berjalan. Tentu saja sepeda roda tiga yang saya maksudkan. Namun, selama ini dia hanya menggerakkan sepeda dengan cara menyeret memakai kedua kakinya. 

Alhamdulillah kaki Najib  kuat. Dia biasa menyeret sepeda sampai lumayan jauh, bahkan mengikuti kakak dan saudara sepupunya yang sedang menggowes juga. Hobi itu sudah lumayan lama. Sejak usianya sekitar 14 bulan.

Baca juga : Lika-Liku Menyapih


Rewel dan Sering Mengigau saat Tidur

Bermain pasi di Taman Legenda, TMII.

Hari-hari awal pasca disapih, tentu saja dia rewel nggak karuan. Ada saja yang jadi pemicu untuk nangis, terutama nenjelang waktu tidur. Ya, biasanya kan dia nenen, jadi langsung anteng di ketek saya, upss! Nah, sekarang dia nggak punya pelampiasan. Jadi semacam kurang kasih sayang gitu. Padahal kami justru sangat memerhatikan. Lha tapi namanya sedang galau, tetep saja dia nangis.

Kami berusaha merubah rutinitas sebelum tidur. Biasanya dia nenen sambil dengerin saya cerita. Sekarang saya ganti Najwa yang menemani. Sedangkan saya duduk di sampingnya  sambil membacakan buku cerita. Guling atau boneka saya sandingkan di sebelah tidurnya.  Bagaimana pun Najib butuh pengalihan, sesuatu yang bisa membuat nyaman atau dipeluk sewaktu tidur.

Pada awalnya, cara itupun tidak berjalan mulus.  Najib minta memegang payudara saya. "Egang doang, entar aja ya?" (pegang doang, sebentar saja ya) , begitu katanya. Memang sih, cuma sebentar, tapi saya nggak mau hal baru ini jadi kebiasaan. Jadi, hanya sekali dua kali saja saya turuti. Selebihnya tetep dengan rutinitas baru, yaitu dibacakan buku sebelum tidur. Ya, meskipun harus dengan merayu-rayu.

Saat tidur pun Najib jadi sering mengigau. Menangis memanggil ayah, kakak atau teman-temannya. Kejadian seperti ini berlangsung berulang-ulang dalam sekali tidur. Kadang-kadang malah sambil nangis dia bangun, berjalan memanggil teman-temannya. Ini bisa terjadi kapan saja,loh. Bahkan jam 12 atau 2 malam, kami biasa mengikuti dia yang terbangun sambil menangis trus minta dibukakan pintu rumah. Saya sempat khawatir dan nggak tega. Hampir menyerah begitu saja.

Demam Naik Kuda

Naik Kuda Poni di Taman Safari. Biasanya Kuda tunggang biasa di KBT.


Maksudnya bukan badan panas demam, ya. Ini beneran Najib jadi seneng banget naik kuda. Setiap nangis, selain mencari teman-temannya. Najib bakalan ngomong "naik Ik Ak!" Ik Ak adalah caranya melafalkan kuda. Saya sempat bingung mengartikannya. Baru sadar setelah Najib menunjukkan gambar kuda. Mungkin sebutan itu berasal dari cara kai menirukan suara kuda, Iiikkkaaaa ... Jadilah Najib menyebutnya  Ik Ak. Hehehe ... Waspada mengajari anak.

Tapi beneran dia jadi berani naik kuda sendiri, cuma ditemani abang-abang yang menuntun kudanya. Biasanya kan selalu didampingi ayahnya atau Najwa. Setiap lihat kuda juga selalu minta naik. Mainan  dan guling di rumah pun semua diibaratkan kuda. Jangan mainan, kamipun harus bergantian menjadi kudanya. Ckckckck .. payah banget yang terakhir ini.

Makan lebih banyak 

Selain perubahan emosi yang lumayan butuh diperhatikan. Hal-hal positif  mulai nampak pasca disapih. Salah satunya porsi makan yang semakin besar. Sebelumnya porsi makannya sudah lumayan sih. Tapi sekarang semakin besar dan beragam. meskipun tidak diikuti kenaikan berat badan yang signifikan.

Najib mulai merequest sayur dan lauk yang diinginkan. Begitu pun pada saat jam makan tiba, dia akan minta diambilkan makanan. Entah itu nasi sama sayur, roti sama susu atau biskuit sama air putih. Dia akan minta sesuai keinginannya. 

Kalaupun minta nambah, Najib akan bilang. Sebelum disapih, kebutuhannya memang banyak dicover oleh ASI. Sekarang baru terasa lapar dan butuh lebih banyak asupan. Porsi camilan dan buah pun bertambah. Sekarang bisa bebetapa kali minta biskuit atau kue. Kadang-kadang kalau sore masih minta dibelikan Siomay, Cakwe atau Donat. Saya sih, seneng-seneng aja. Ibu mana yang nggak seneng lihat anaknya doyan makan?

Kosakata Bertambah dan Semakin Cerewet

Menggunting sebagai salah satu kegiatan favorit sejak disapih.


Seiring kemauannya yang terus bertambah dan mulai me-request banyak hal. Najib menunjukkan perkembangan menggembirakan lainnya. Ngomongnya jadi nggak ada habis-habisnya. Dia pun berusaha menirukan beberapa kata yang kami ucapkan.

Misalnya kalau saya tanya, "Adik mau makan apa? Nasi sama sayur atau roti dikasih coklat?" Najib akan menjawab aci ama ayur ( nasi sama sayur) atau oti ama otat (roti sama coklat). Begitu pun saat minta minum. Dia sudah bisa membedakan mau pakai botol, cangkir atau gelas. Susu, teh, jus atau air putih. Tentu saja semua diucapkan dengan caranya. tapi ini amazing banget buat saya. Karena sebelumnya Najib cenderung lebih anteng dan nurut saja apa yang kami berikan.

Selain itu, Najib mulai suka menceritakan kegiatan sehari-harinya. Biasanya, malam hari dia akan tidur setelah ayahnya pulang dari kantor. Setelah obrolan kecil tentang kegiatannya di siang hari, baru dia akan tidur. Hal ini juga yang membuat jadwal tidurnya jadi semakin malam. Kadang-kadang sampai jam 10 atau 11 malam.

Saya sering merasa kecapekan, karena biasanya jam 8 sudah ikut tidur menemani anak-anak. Baru nanti malamnya bangun lagi. Sekarang harus stand by sampai jam 10an. Tapi apa yang lebih menggembirakan dari mendengarkan celotehannya bersama suami? Saya suka tertawa sendiri melihat ekspresi maupun caranya mengucapkan kata-kata yang dimaksud. Lucu karena nggak jelas, begitu pun ekspresinya yang sering berubah-ubah.


Lebih Percaya Diri

Mulai berani bermain sendiri.


Dalam hal kepercayaan diri, kami juga merasakan perkembangan yang lumayan pesat pada Najib. Misalnya saat bertemu orang baru, dia akan berusaha menyapa dan mengajak kenalan. Tentu saja sebagian masih kami arahkan, tapi dia berani melakukan sendiri tanpa didampingi.

Begitu pun untuk urusan bermain, Najib mulai suka main di rumah sepupunya, meskipun tidak kami temani. Biasanya setelah saya antar, dia meminta saya pulang. Jika diajak pergi ke tempat umum, dia tidak lagi malu-malu dan nempel sama saya. Najib mau berkenalan dan menyapa siapa saja. Bahkan abang-abang jualan di rumah pun mulai biasa diajaknya ngobrol.

Dua minggu ini Najib tertarik untuk ikut teman-temannya sekolah di PAUD. Sebenarnya saya belum ada keinginan untuk mendaftarkan. Tapi karena anaknya mau, akhirnya saya ikuti saja. Itung-itung main. Dari awal, dia langsung merasa nyaman, baik dengan guru-gurunya, aktivitas di PAUD maupun teman-temannya.

Belum saya daftarkan sih, jadi masih semau dia aja. Kalau pagi harinya saya tawari dia mau, ya berangkat. Kalau nggak, ya main di rumah saja. Setidaknya dia punya aktivitas baru sebagai pengalihan dan belajar banyak hal dalam bersosialisasi dengan orang luar. Termasuk menghadapi anak-anak yang gaya pengasuhannya berbeda.

Kalau saya ceritaian semua, bisa panjang banget ini blog post. Hehehe ... Ya, namanya juga ibu-ibu, pasti girangnya setengah mati kalau melihat tumbuh kembang anaknya positif. Saya yakin teman-teman juga sama seperti saya.

Nah, kalau boleh saya simpulkan.  Pasca disapih memang biasanya anak butuh rutinitas baru sebagai pengalihan. Terlebih untuk yang diasuh sendiri sama ibunya, karena tidak ada orang lain yang bisa menggantikan. Tapi, semua itu nggak lama kok, hanya sementara dan akan segera berlalu. Tentunya setelah anak-anak menyesuaikan diri, terutama secara psikologis.

Kalau dari pengamatan saya selama satu bulan ini. Pasca disapih biasanya anak mengalami beberapa hal berikut:

Mendapat teman baru kemudian bermain bersama di Ancol.


Kondisi Emosi dan Fisik Pasca Disapih
  1.  Kurang stabil di awal penyapihan, tenang lalu tiba-tiba menangis itu sudah biasa. Tapi ini tergantung kesiapan anak juga.
  2.  Butuh rutinitas baru sebagai pengalihan, atau bisa juga karena pelampiasan.
  3. Lebih sering rewel bahkan tantrum bagi sebagian anak, karena merasa tidak diperhatikan kebutuhannya (menyusu).
  4. Jadwal tidur atau jam biologis anak sering kali berubah.
  5. Makan lebih lahap dan porsi bertambah karena merasa lapar. Meskipun bagi sebagian anak yang saya kenal ada juga yang malah  jadi susah makan. So, orang tua musti tanggap dan kreatif dengan menu khusus anak.
  6. Khusus Najib, berat badannya tidak bertambah atau berkurang secara signifikan. Mungkin karena perawakannya memang kurus tinggi. Sedangkan beberapa anak bisa bertambah gemuk karena porsi dan frekuensi menyusu di botol juga meningkat.
  7. Perkembangan psikomotorik meningkat, setidaknya itu yang saya amati pada Najib. 
  8. Lebih percaya diri, baik dalam bersosialisasi maupun mengasah kemampuan sendiri.
  9. Tidak terlalu tergantung pada saya. Sekarang Najib bisa tidur dengan siapa saja termasuk neneknya. Bahkan untuk mandi, makan dia biasa me-request dengan siapa yang diinginkan.
  10. Rasa ingin tahu meningkat, karena semakin banyak waktu untuk bermain dan mencoba hal baru. Beda dengan saat masih menyusu, karena Najib cenderung jam menyusunya tidak teratur. Bisa kapan saja dan lama. Sekarang, jam-jam itu full untuk bermain-main saja.

Teman-teman yang masih menyusui, pasti nantinya punya pengalaman yang berbeda. Karena setiapanak cenderung memiliki ritme berbeda pasca penyapihan. Tergantung kondisi anak sebelum disapih dan gaya pengasuhan orang tua. Ada banyak juga orang tua yang tidak mengalami masalah yang terlalu berarti saat menyapih.Tentu saja ini yang diharapkan semua orang tua.

Tapi tak perlu khawatir, setiap fase bersama anak itu ada seninya. Dan sering kali menimbulkan kerinduan karena tidak bisa diulang. Jadi dinikmati saja. Meskipun saya sendiri bukan tipe ibu sempurna. Yang sabar, telaten dan stabil secara emosional. Saya berusaha menikmati masa-masa ini dengan segala keterbatasan.

Kalau teman-teman yang sudah menyapih, boleh sharing dong, bagaimana pengalamannya?

[Resensi Buku] Bangga Menjadi Ibu - Part 1

|
Akhir tahun 2016 merupakan sebuah momentum yang sangat menggembirakan sekaligus mengharukan bagi saya. Bagaimana tidak, saya yang masih tertatih dengan hobi dan impian baru saya sebagai seorang penulis, mendapatkan kesempatan sebagai salah satu kontributor dalam buku Antologi Bangga Menjadi Ibu. 

Memang terdengar biasa bagi sebagian besar orang. Tapi bagi saya, kesempatan ini bukan hanya sebuah penghargaan. Namun, menjadi titik balik atas segala keresahan yang kerap menggelanyut dalam pikiran atas posisi seorang ibu yang nyaris minim pengakuan. Yang selama ini ada dalam kalutnya pikiran saya. Padahal dalam kenyataannya sungguh berbeda.


Berawal Dari Kompetisi Menulis "Bangga Menjadi Ibu" 

Sekitar November 2016, Bitread Publishing, salah satu Indie Book Publisher menggelar lomba penulisan dengan mengambil tema "Bangga Menjadi Ibu" Kebetulan saat itu Bitread menggandeng komunitas penulis Emakpintar yang digawangi Teh Iin, Indari Mastuti sebagai partnernya dalam menjaring karya terbaik dari peserta yang jumlahnya mencapai ratusan.

Kompetisi menulis ini tentu saja menyediakan hadiah bagi para pemenangnya. Tapi yang lebih menggembirakan lagi, 99 finalis terbaik mendapat kesempatan untuk membukukan karyanya dalam sebuah buku antologi yang dicetak secara indie oleh penerbit Bitread

Tertarik dengan peluang yang kedua, saya tak ingin melewatkan begitu saja kesempatan untuk ambil bagian dalam kompetisi ini. Segera setelah mendapatkan syarat dan ketentuan perlombaan, saya mulai membuat draft cerita kebanggaan saya sebagai Ibuknya Duo Naj. 


Sempat Minder karena Minim Pengalaman sebagai Ibu

Sempat terhenti beberapa kali selama proses penulisan. Saya merasa minder setelah membaca karya penulis lain yang di share di wall FB. Bukan hanya ceritanya yang mengharu biru, pengalaman saya sebagai orang tua pun masih kalah jauh. Bisa dibilang masih terlalu dini untuk saya bangga dan ceritakan dalam sebuah kisah inspiratif, apalagi untuk dibukukan. Belum lagi teknik penulisan yang tertinggal di belakang dari sekian ratus peserta lain. Ahh ... rasanya saya ingin tutup laptop dan mundur teratur saja. Malu pemirsa!

Butuh beberapa waktu bagi saya memupuk kepercayaan diri kembali. Sampai kahirnya di H-7, saya berhasil mengirimkan satu judul untuk diikutkan dalam penilaian para juri. Cerita yang sungguh sangat sederhana, karena saya merasa sebagai ibu masih butuh banyak berbenah. Tapi justru dari tema sederhana tersebut, 3 hari kemudian saya berhasil mengirimkan kembali karya kedua. Luar biasa! Begitu saya mengagumi diri sendiri saat itu.


Dua Karya Lolos Penjurian

Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar kemampuan diri sebelum mencoba. Berawal dari keraguan sampai akhirnya mengirimkan dua buah karya. Dan, alhamdulillah, keduanya lolos penjurian, masuk menjadi salah satu dari 99 finalis lainnya. Hore!! bolehlah BukNaj jingkrak-jingkrak sejenak. 


Kebahagiaan belum selesai sampai di situ. Salah satu karya yang berjudul, "Goresan Cinta untuk Cahaya Mata" masuk dalam buku antologi bersama 99 penulis lainnya. Masha Allah, seperti mimpi, akhirnya buku pertama menjadi kenyataan. Bahagia, haru, histeris, pokoknya norak abis. Saya tahu ini belum seberapa dan bukan apa-apa bagi orang lain. Tapi bagi saya, amazing!!

99 Kisah Inspiratif dalam Buku Bangga Menjadi Ibu

Buku Bangga Menjadi Ibu merupakan kumpulan kisah inspiratif 99 penulis yang berlatar belakang seorang Ibu. Menyajikan berbagai cerita menarik tentang lika-liku seorang ibu. Tidak hanya permasalahan seputar pengasuhan, buku ini juga menuturkan pengalaman perjuangan seorang wanita agar layak ntuk disebut ibu.
Karena merupakan buku antologi, secara otomatis baik gaya penulisan maupun sudut pandang yang digunakan penulis sangat beragam. Begitu pun halnya dengan makna dan bentuk perjuangan yang dilakukan setiap penulisnya.

Teman-teman tidak hanya akan menemukan kisah mengenai beratnya beban akibat tuntutan menjadi ibu yang ideal di mata masyarakat. Tapi juga berbagai kisah mengenai dilema ibu yang harus membagi waktunya dengan bekerja di luar rumah, Ibu yang harus menghadapi kematian anaknya, ibu yang harus bertahan dengan "keistimewaan" yang dikaruniakan untuk buah hatinya. Dan, masih banyak lagi kisah para ibu yang begitu sederhana, namun mampu menyadarkan pembaca bahwa setiap fase kehidupan seorang wanita selalu memperkaya batinnya.

Latar Belakang Penerbitan Buku Bangga Menjadi Ibu Part 1 dan 2

Buku Bangga Menjadi Ibu ini dicetak dalam dua bagian, yaitu Bangga Menjadi Ibu Part 1, di mana saya dan 42 penulis lainnya membukukan karya. Sedangkan dalam buku Bangga Menjadi Ibu Part 2, tersisa 56 penulis lainnya. 

Kompetisi penulisan ini merupakan wujud peran nyata dari Bitread Publishing dan Emakpintar sebagai pelopor bertumbuhnya kebahagiaan dan kebanggaan seorang wanita sebagai Ibu. Menyadari bahwa kebahagiaan seorang anak dan keluarga tidak terlepas dari sosok bahagia ibu, maka buku ini terbit dan dipersembahkan untuk semua wanita yang berkesempatan menyandang gelar ibu.

Kumpulan cerita dalam buku Bangga Menjadi Ibu akan membuat pembaca tenggelam dalam sebuah perenungan mengenai berharganya peran ibu. Sebuah perjuangan yang terus menerus, kesabaran yang tak lelah untuk diuji hingga kasih sayang yang tak memiliki pembatas.

Buku ini cocok sebagai bingkisan spesial bagi seorang ibu, istri atau siapapun yang ingin memaknai lika-liku seorang wanita sebagai ibu. Buku ini akan membuat kita lebih mensyukuri hidup dan segala 'pemberian' dari yang Maha Kuasa.

Berminat dengan buku Bangga Menjadi Ibu? Teman-teman bisa langsung memesan ke bagian pemasaran Bitread Publishing atau mention di IG : @BITREAD_ID Atau, bisa juga melakukan pemesanan melalui kontributor, termasuk saya ^_^

Selamat membaca!

Judul : Bangga Menjadi Ibu Part 1
Penulis : 43 Finalis kompetisi menulis "Bangga Mnejadi Ibu"
Jenis : Buku Antologi Kisah Inspiratif
Penerbit : Bitread Publishing
tebal : 260 halaman

Tes IQ untuk Anak, YAY or NAY?

|
Tugas berat orang tua adalah mengamati, menggali, memupuk dan mengembangkan keistimewaan yang Tuhan anugerahkan pada anak-anak kita.




Kalau teman-teman mau tahu jawaban saya tentang Tes IQ untuk Najwa atau Najib kelak. Maka jawabannya, NAY! Mau tahu alasannya? Baca dulu cerita saya ya. ^_^

Beberapa waktu yang lalu, sekolah Najwa menyelenggarakan Tes Psikologi yang setiap tahun rutin dilakukan untuk anak didiknya. Adapun jenis tes yang ditawarkan kepada orang tua ada dua. Pertama, Tes Kesiapan Masuk SD, sedangkan yang kedua adalah Tes IQ.  Untuk anak yang akan melanjutkan ke jenjang sekolah dasar, sekolah mewajibkan siswanya mengikuti tes yang pertama, yaitu tes kesiapan. Sedangkan untuk tes yang kedua bersifat pilihan.

Karena Najwa berencana melanjutkan ke SD pada tahun ajaran depan, secara otomatis dia terdaftar untuk tes yang pertama. Sedangkan untuk Tes IQ, saya dan suami sepakat untuk tidak mengikuti. Mengapa? Tentu saja kami memiliki alasan tersendiri. Beberapa di antaranya sebagai berikut :


Alasan Tidak Mendaftarkan Najwa untuk  Tes IQ
  1. Tes IQ  bukan satu-satunya tolok ukur kecerdasan anak.
  2. Ada beberapa faktor lain yang justru harus ditumbuhkan dari anak semenjak awal kehidupan  mereka. Misalnya empathy, creativity, critical thinking, enthusiasm, dan lain-lain.
  3. Memprediksi kecerdasan anak berdasarkan dari skor IQ saja, menurut kami kurang bijaksana. Karena, skor IQ terdiri dari banyaknya kumpulan skor dan sangat mungkin terjadi prediksi yang kurang tepat.
  4. Kami tidak ingin skor IQ membayangi cara pandang kami terhadap kecerdasan anak. Bahkan yang lebih menakutkan, kami khawatir skor IQ membatasi ekspektasi terhadap kecerdasan anak.
  5.  Jujur kami tidak terlalu paham apa manfaat dari skor IQ yang diperoleh anak.
  6. Yang terakhir, kami tidak ingin membandingkan anak karena terpengaruh skor IQnya.
Tentu saja kami tidak asal dalam membuat keputusan ini. Sebelumnya, saya sempat berkonsultasi dengan beberapa teman juga menambah sumber bacaan terkait perlukah Tes IQ untuk anak-anak. Beberapa sumber bacaan yang saya temui memang ditulis oleh ahli  psikolog, salah satunya Ibu Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si, atau biasa disapa Mbak Nina dalam artikel-artikelnya. 

Dalam salah satu artikel psikologi yang ditulisnya, kebetulan membahas tentang "Perlukah Tes IQ untuk Anak? Beliau dengan tegas menjawab, TIDAK. Tidak setiap anak perlu melakukan Tes IQ. Kecuali si anak menunjukkan adanya tanda-tanda gangguan perkembangan atau keterlambatan pada beberapa hal.

Bahkan ketika orang tua hanya sekedar ingin tahu skor IQ anak pun, Ibu Ana Surti Ariani menyarankan TIDAK perlu untuk mengikuti. Pendapat beliau ini sangat menarik bagi saya. Dan tentu saja  membawa angin segar karena selama ini saya selalu mendapat jawaban, terserah orang tua masing-masing.

Setiap anak dilahirkan dengan kecerdasan masing-masing. Sungguh UNIK! ( Pict by Ummi-Online)


Pengertian Tes IQ

Mungkin teman-teman pernah mengalami peritiwa seperti ini. Suatu ketika, seorang teman atau kerabat menanyakan berapa skor IQ anak kita. Pada saat kita menyebutkan suatu angka, bisa jadi respon yang ditunjukkan berbeda. Membelalak kagum, atau hanya manggut-manggut dengan ekspresi datar. Saya membayangkan pasti memprihatinkan jika mendapatkan respon yang kedua. Lalu, apa sebenarnya yang salah dengan angka-anagka pada skor IQ tersebut?

Seperti yang saya pelajari dalam sebuah sumber bacaan, IQ atau intelligence quotient merupakan hasil bagi dari inteligensi. Inteligensi sendiri memiliki pengertian kemampuan berpikir dan beradaptasi dari pengalaman hidup sehari-hari. (Santrock, 2002). Ringkasnya, semakin besar kemampuan seseorang untuk menemukan makna dan menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapinya. Maka dia dianggap semakin cerdas.


Lalu, dari manakah angka IQ itu di dapat?

Skor IQ didapat dari pembagian usia mental atau Mental Age (MA), yaitu kemampuan seseorang baik anak ataupun dewasa dibandingkan teman-teman pada usia yang relatif sama, dibagi usia anak yang sebenarnya atau Chronological Age (CA),  kemudian dikali 100. Begitu saya kutip dari tulisan  Ibu Anna Surti Ariani, S.Psi. M.Psi. dalam salah satu artikelnya.

Maka tak jarang, anak dianggap lebih cerdas ketika kemampuannya  menyamai anak-anak dengan usia di atasnya.  Sedangkan untuk mendapatkan skor Mental Age atau MA, psikolog akan memberikan serangkaian soal kepada anak, kemudian menghitung jumlah soal yang dijawab dengan benar lalu membandingkannya dengan anak yang usianya setara. Tentu saja secara teknis pakar psikologi yang lebih memahaminya. Itupun sudah pasti melalui serangkaian uji coba yang valid.


Tes IQ meliputi apa saja?

Menurut Psikolog, Tes IQ atau Pemeriksaan Inteligensi yang tepat sebenarnya tidak hanya menghasilakan satu skor IQ tunggal. Namun merupakan kumpulan berbagai skor. Di antaranya daya tangkap, daya ingat, konsentrasi dan kemampuan analisis. Termasuk di dalamnya kemampuan matematika dan pemahaman terhadap bahasa. 

Tes IQ juga diklaim mampu mengukur sikap kerja seperti ketelitian, kecepatan dan sistematika kerja.  Khusus bagi anak yang cenderung memiliki permasalahan atau gangguan perkembangan, psikolog akan menyertakan berbagai data di samping skor IQ. 

Karena banyaknya kumpulan skor dari berbagai komponen yang diukur, maka bisa jadi dua  anak dengan total skor IQ yang sama, memiliki kemampuan yang berbeda. Hal ini karena skor yang diperoleh dari setiap komponen yang diujikan bisa jadi berbeda, namun dijumlahkan secara total untuk menghasilkan skor total. Itulah sebabnya, jika orang tua memprediksi kecerdasan anak hanya dari satu angka skor IQ saja, maka bisa jadi kurang tepat.


Kecerdasan anak tidak selalu identik dengan hasil akademis. (Pict by. Republika-online)

Perlukah Tes IQ?

Seperti yang  sudah saya sebutkan di atas,  TIDAK semua anak memerlukan Tes IQ. Karena pemeriksaan inteligensi secara lengkap hanya perlu dilakukan jika ada kecurigaan gangguan psikologis pada anak. Seperti lemah daya tangkap, perkembangannya terlambat dan kecurigaan itupun harus dibuktikan melalui serangkaian tes psikologi.

Hanya saja, semua kembali pada keputusan setiap individu. Ada banyak orang tua yang merasa anaknya tidak perlu mengikuti Tes IQ seperti halnya saya. Namun, tak jarang juga yang menyetujui dan menganggapnya penting. Itu tidak masalah bahkan tak perlu diperdebatkan. 

Beberapa sekolah bahkan mengadakan tes ini secara rutin meskipun bersifat tidak wajib, seperti halnya yang dilakukan di sekolah Najwa. Sedangkan, sekolah yang lain justru mensyaratkan pemeriksaan inteligensi sebagai bagian seleksi penerimaan siswanya. Kembali lagi, semua tergantung kebutuhan masing-masing.



Apakah Skor IQ Bisa Berubah?

Jawabnya, BISA.

Sebagian orang tua mungkin merasa khawatir ketika skor IQ anaknya cenderung rendah. Menghadapi hal semacam itu, sikap bijaksana harus dimiliki. Ingat, Skor IQ bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi keberhasilan anak di masa depan. Orang tua justru harus memerhatikan beragam kecerdasan lain yang sayang jika terlewat untuk ditumbuh kembangkan.

Skor IQ bisa jadi berubah seiring dengan perkembangan anak. Antara 5 sampai dengan 10 tahun pertama kehidupannya,  seorang anak bisa saja mengalami perkembangan yang signifikan.


Adakah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan?

Sekali lagi jawabannya, ADA.

Berdasarkan hasil konsultasi saya dengan seorang teman, setidaknya ada 4 faktor yang memengaruhi perubahan skor IQ seorang anak. Di antaranya:

  • Faktor pengukuran, yaitu berkaitan dengan komponen dan proses pelaksanaan tes yang sangat beragam. Dalam hal ini usia dan kemampuan anak memiliki peran sangat besar.
  • Faktor tak terduga, seperti kesalahan administrasi atau skoring. Bukan tidak mungkin kan, terjadi kesalahan dalam hal administrasi atau penghitungan skor? Meskipun atas nama sistem, terkadang sebuah kesalahan tidak bisa dielakkan?
  • Faktor situasional, meliputi motivasi, kondisi fisik anak, rasa percaya diri, dan lain sebagainya. Bukan tidak mungkin kondisi anak pada saat tes pertama dan kedua akan berbeda.
  • Faktor Nutrisi
Nah, cukup banyak yang perlu orang tua pelajari sebelum memutuskan untuk menyertakan anak dalam sebuah tes. Misalnya Tes IQ. Tapi, tidak menutup kemungkinan orang tua terpaksa mengikuti atau memang tertarik mengikutinya. Hal tersebut tidak salah, bahkan sah-sah saja. Karena orang tualah yang paling tahu kondisi anak-anaknya. 

Tapi, ada baiknya kita tidak terpaku pada skor IQ yang dicapai anak. Yakin saja, Tuhan menciptakan makhluknya pasti dengan suatu kelebihan. Tidak mungkin Tuhan membuat ciptaannya tidak bermanfaat. Maka tugas besar kita adalah mengamati, menggali, memupuk dan mengembangkan keistimewaan yang Tuhan anugerahkan pada anak-anak kita.



Have fun for the journey with your kids, Mom! Good Luck!











Lika-Liku Menyapih Anak

|
"Bund, hari ini kita sapih Najib, kita harus tega. Toh, tujuannya agar anak lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung sama ibunya. Jadi ayah bisa bantuin momong."



Pertengahan bulan nanti, genap sebulan Najib anak kedua saya melewati masa disapih. Tepat pada usia 2 tahun 4 bulan, saya dan suami memutuskan untuk menyapihnya secara total. Awalnya saya sempat ragu karena pernah gagal menyapih si kecil. Tapi alhamdulillah, nampaknya kali ini kami akan berhasil melakukannya.

Sebelumnya, saya telah mencoba menyapih Najib dengan cara mengurangi frekuensi pemberian ASI secara bertahap. Yang biasanya kapan saja dan di mana saja, saya mulai berlakukan aturan tempat dan waktu. Misalnya harus di kamar, pada saat bangun dan sebelum tidur.

Tapi cara itu hanya bertahan sementara waktu saja. Ketika kondisi anak sedang tidak fit, dia mulai susah untuk diajak mengikuti aturan menyusu yang sudah saya terapkan. Dipengaruhi faktor 'nggak tega', saya pun mulai tidak tegas dan konsisten dengan aturan yang saya buat. Jadilah kebiasaan ini tidak berjalan dengan lancar. Parahnya, Najib cenderung menjadikan tantrum sebagai senjatanya saat saya menolak memberikan ASI Ya ... Apa mau dikata, gagal sudah Buk Naj dengan metodenya. 


Mulai WWL hingga Mengolesi  Payudara dengan Brotowali

Sejak awal menyusui Najib, dengan penuh kepercayaan diri saya memutuskan untuk memberinya ASIX hingga usianya 2 tahun. Berbekal tekad tersebut, saya pun merencanakan menyapih dengan metode WWL dan berencana mulai memberi pemahaman pada anak sejak usianya 18 bulan. Sambil secara bertahap mengurangi frekuensi menyusunya.

Tapi yang namanya teori memang kerap tak seindah kenyataan. Keberhasilan memberikan ASIX mulai membuat saya terlena dengan rencana yang telah saya siapkan. Memang benar sejak usia 18 bulan saya memberinya pengertian bahwa setelah potong kue yang kedua, adek minumnya ganti pakai gelas. Dengan alasan adik sudah besar dan malu kalau masih nenen ibunya. Benar juga bahwa semenjak itu saya  mulai mengurangi frekuesi menyusui. Tapi, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya sering 'nggak tega' dan konsisten. Jadilah Najib memanfaatkan kelemahan saya ini sebagai senjata.

Sampai usianya 2 tahun lebih, saya masih belum berhasil menyapihnya. Sedangkan suami terus mendesak, dengan alasan si kecil mulai tergantung sama ibunya. Saya nggak kelihatan sebentar sajat, Najib bakalan nangis kejer, nyari-nyari. Meskipun ada suami atau Najwa yang menemani. 

Drama seperti ini berlangsung terus menerus, bahkan semakin menjadi. Saya pun mulai kewalahan karena durasi menyusu yang semakin panjang. Najib mulai memanfaatkan momen menyusu untuk bermain, bukan karena benar-benar haus. Cuma ngempeng kalau istilah orang Jawa. 

Akhirnya, saat usia Najib 2 tahun 1 bulan, suami pun mengambil inisiatif membeli Brotowali atau biasa disebut Wali di pasar. Sejenis rempah berbentuk batang, dalamnya bergetah dan rasanya pahit bukan kepalang. Awalnya saya menolak, karena idealisme  tidak ingin menyapih dengan cara-cara seperti itu. Tapi suami mendesak dengan alasan kebaikan anak. Agar anak tidak semakin manja dan segera mandiri.


Jadilah acara menyapih dengan Brotowali kami lakukan. Setiap mau minta nenen, saya selalu oleskan dulu rempah pahit ini ke seluruh payudara saya. Dan tentu saja si kecil kepahitan, jangankan diemut, baru dijilat saja rasanya sudah getir di lidah. 

Resmi sudah hari itu Najib nggak minta nenen sama saya. jangan ditanya kayak apa rewelnya. Malam pertama saja saya harus menggendongnya beberapa kali. Demi si kecil bisa tidur nyenyak. Begitu pun saat masuk jam tidur siang.


Menolak Minum di Botol hingga Demam

Drama dimulai lagi saat Najib menolak minum susu di gelas. Sehari berikutnya, hampir seharian dia hanya minum air putih saja. Semua minuman berasa, baik itu susu, teh atau sari buah ditolaknya. Saya coba menawarkan botol susu kepadanya, terutama menjelang jadwal tidur siang atau malam. Tapi karena tidak terbiasa tidur dengan botol, Najib pun menolak begitu saja.

Pada malam kedua, saya merasakan badannya sedikit demam. Dan benar saja suhu tubuhnya sudah mencapai 38, 3 kala itu. Saya mulai panik, khawatir si kecil kurang cairan. Emosi pun mulai tidak stabil, antara bersikeras ingin menyapih dan kasihan melihat si kecil.  

Tak dapat dipungkiri,  perasaan ibu memang terhubung langsung dengan anak. Najib pun semakin rewel hingga tengah malam, ketika perasaan saya mulai kalut. Sudah saya gendong sambil saya bobok-bobokkan, tetap saja dia menangis dan minta dinenenin.


Gagal Menyapih dengan Brotowali

Dalam kondisi kelelahan secara fisik, payudara mulai nyeri karena bengkak akibat  terlalu penuh, perasaan campur aduk antara panik dan khawatir, ditambah suami sedang dinas ke luar kota sehingga tidak ada yang menggantikank. Runtuh sudah usaha yang sudah hampir dua hari saya lakukan. Tepat pukul 01.00 dini hari, dengan tetap menggendong si kecil, saya pun mulai menyusuinya.

Lega ... begitulah perasaan saya saat itu. Najib langsung tenang dan menyusu hingga puas sebelum akhirnya tertidur dalam gendongan. Rasa nyeri di payudara pun hilang dalam sekejap. Malam itu kami berdua terlelap di sofa, kelelahan baik secara fisik maupun mental.


Najib Cerdik!

Setelah pengalaman gagal menyapih dengan Brotowali, saya pun mulai mencoba beberapa bahan lain untuk dioleskan. Tapi benar kata orang, anak-anak itu jauh lebih cerdik dari yang kita sangka.

Setiap saya mengoleskan sesuatu pada payudara, si Najib segera bergegas mengambil tisu untuk mengelap. Dan lebih parahnya lagi, apapun yang saya oleskan dia selalu bilang, "enak, ndak pa pa." Begitu terus-menerus. Bahkan saat dioleskan Brotowali kembali, Najib akan mengatakan hal yang sama, "Nak, Buk. Adek cuka, nak ... nak." Tetot! ... Kalah sudah saya dalam pertempuran ini. *Pijitkening



Berhasil Berkat Kerjasama dengan Suami

Saya ingat betul, hari itu Jumat tanggal 13 Januari 2017. Tiba-tiba suami saya bilang,
"Bund, hari ini kita sapih Najib, kita harus tega. Toh, tujuannya agar anak lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung sama ibunya. Jadi ayah bisa bantuin momong juga." 

Kebetulan usia Najib memang bisa dibilang lebih dari cukup untuk disapih. Dan setelah kegagalan menyapih dengan Brotowali, Najib memang cenderung lebih nempel sama saya. Jadwal menyusunya pun semakin berantakan. Ditambah acara tantrum yang menjadi-jadi.

Pagi itu suami mengajaknya jalan-jalan keliling perumahan. Saya kurang tahu apa saja yang mereka berdua lakukan. Yang jelas, sesampainya di rumah. Si kecil langsung bilang, "nenen ibuk atit, udah abis." Hahaha ... si ayah melakukan pencucian otak kali ya. *nyengirprihatin

Seperti biasa, dalam setiap acara menyapih, saat-saat jam tidur selalu menjadi masalah. Tapi kali ini Najib benar-benar tidak minta nenen. Dia terus bilang nenen ibuk atit, nenen udah abis. Begitu terus menerus sambil sesekali memegang payudara saya.

Kami masih kesusahan memberikan susu melalui botol karena faktor tidak terbiasa tadi. Ini termasuk salah satu hal yang patut dipersiapkan bagi Temans yang berencana menyapih anaknya. Terlebih jika si anak tipe yang biasa nenen dulu sebelum tidur. Otomatis mereka akan mencari penggantinya. 

Alhamdulillah, selama proses menyapih yang ketiga ini, suami  stand by di rumah khususnya menjelang jam tidur malam. Terbantu di tiga hari awal, yaitu Jumat, Sabtu, Minggu saat libur kerja, Najib mulai menemukan kenyamanan baru, yaitu tidur dalam pelukan ayahnya. Saya pun mendapatkan jeda, sehingga frekuensi bersama dengannya agak berkurang. 

Akhirnya, setelah melewati seminggu pertama yang lumayan berat. Najib benar-benar tidak lagi meminta nenen dari saya. Jangan ditanya bagaimana perasaan saya, apalagi kondisi badan yang lelah karena jatah rewelnya naik dua kali lipat, tapi sepadan hasilnya.

Sampai hari ini Najib menunjukkan banyak kemajuan pasca disapih dari saya. Terutama dalam hal kemandirian dan kepercayaan dirinya. Selain dari segi umur yang memang sudah siap, kedekatan dengan ayahnya pun mulai terbentuk dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Lain kali akan saya tulis blogpost tentang perkembangannya baik secara fisik dan emosi pasca penyapihan.


Tips Sukses Menyapih Anak

Yang terakhir, saya ingin berbagi sedikit tips sukses menyapih ala saya dan suami. Tenang saja, oles-olesan macam Brotowali sudah saya skip dari tips ini, Jadi aman untuk Teman-Teman yang tidak ingin menggunakan cara-cara tradisional seperti itu untuk anaknya.

Nah, langsung saja, ya.

1. Pastikan anak maupun orang tua, terutama ibu, dalam kondisi stabil. Baik secara fisik maupun mental, di samping anak cukup usia.

Bagian ini penting banget ya. Jadi bukan cuma anaknya saja yang harus siap atau cukup umur. Orang tua harus menularkan sugesti positif dan siap juga kepada anak, khususnya ibu yang memiliki hubungan secara langsung.

Selain itu, orang tua harus mampu mengelola emosi. Karena mau tak mau akan berhadapan dengan kondisi emosi anak yang berubah-ubah. Rewel atau melakukan kebiasaan-kebiasaan baru yang tak dapat diduga, mungkin akan dialami anak. Dengan kondisi emosi yang stabil, maka orang tua akan lebih tenang menghadapinya.

Kondisi fisik baik orang tua dan anak sebisa mungkin sedang fit. Hal ini untuk mengurangi tingkat kerewelannya. Bagi orang tua, terutama ibu. Kondisi yang sehat sangat memengaruhi emosinya. Karena masa menyapih bisa dibilang tidak selalu mudah dan cepat, jadi butuh kesiapan  jika harus begadang atau berlama-lama menggendong si kecil. Termasuk harus menghadapi prahara payudara bengkak bagi si ibu. *usapairmata

Jadi saran saya, jangan menyapih saat pikiran sedang kalut, atau suami sedang tugas ke luar kota, terlebih saat keluarga sedang ditimpa masalah, atau badang sedang lelah.  Cari momen yang tepat.


2. Harus kompak dengan suami atau anggota keluarga lain di rumah

Menyapih memang butuh pendampingan dari suami atau anggota keluarga lain. Tujuannya sebagai pengalihan anak dari ibunya. Saya merasa cara ini sangat membantu mengurangi frustasi anak, karena setiap bersama saya hasratnya untuk kembali nyusu seperti tak terbendung lagi.

Selain itu, cara ini memberikan sedikit jeda bagi ibu untuk merefresh suasana hati dan emosinya. Karena sebenarnya dalam proses menyapih ini banyak hal "yang hilang" bagi seorang wanita. Perasaan sedih kerap kali menyerang begitu saja. Sehingga kerjasama dengan anggota keluarga lain, terutama suami, saya rasa berkontribusi besar terhadap kesuskesannya.


3. Konsisten

Salah satu penyebab kegagalan menyapih adalah sikap tidak konsisten dari orang tua. Sekali anak melihatnya, mereka akan menggunakannya sebagai senjata. Begitu orang tua bilang, "Mulai sekarang, kalau adik haus, minumnya dari gelas, ya." Mulai saat itu pula ibu tidak perlu menawarkan kembali ASInya. 

Begitu pula beberapa rutinitas baru seperti tidur sendiri atau bersama kakak. Mendongeng sebelum tidur untuk mengalihkan perhatiannya. Atau apa saja yang orang tua terapkan dalam masa penyapihan, sebisa mungkin dilakukan dengan konsisten.

Saya merasakan penerapan konsisten dari orang tua memberikan efek cukup besar tidak hanya dalam proses penyapihan ini. Namun juga dalam membiasakan beberapa rutinitas baru bagi Najib khususnya.

Nah, itu tadi 3 tips dari saya. Saya pun menerapkan beberapa tips dari berbagai artikel parenting yang bisa teman-teman googling. Berbekal tips A,B,C,D ditambah 3 tips tadi, alhamdulillah ... Najib sudah hampir satu bulan tidak meminta ASI kepada saya. Bagaimana dengan tumbuh kembangnya? Lain kali akan saya ceritakan dalam blogpost selanjutnya. 

Selamat Menyapih! ^_^

Baby Boy yang sudah nggak nenen ibuknya ^_^








Custom Post Signature

Custom Post Signature