Mau
tahu nggak, apa yang bikin Ramadan itu beda? Kalau soal keistimewaannya bagi
umat muslim di seluruh penjuru dunia, itu nggak perlu dibahas lagi. Apalagi
oleh saya yang soalan agama pun masih belajar. Sudah banyak orang lain yang
lebih mumpuni dan memaparkan keistimewaannya.
![]() |
| Sumber gambar :Kompasiana |
Nah,
kalau mahmud kayak saya, ehem… *kibasjilbab, Ramadan jadi beda karena geliat
perekonomian masyarakat begitu terasa. Coba amati sekitar kita. Nggak hanya 1
atau 2, belasan orang di sekitar rumah saya beralih profesi menjadi pedagang
(dadakan). Hebatnya, hampir semua laku. Means, fenomena ini bukan karena euphoria
aja ya. Tapi memang mampu menghasilkan rupiah bagi mereka.
Saya
pun sempat berpikir ingin mencoba peruntungan di bisnis musiman seperti ini.
Karena udah terbukti, mulai kurma sampai baju semua laku dijual. Lah, kok mahal
amat kurma. Yang jualan amplop lebaran aja laris manis. Terlebih di kota besar seperti
Jakarta, apapun yang dijual hampir pasti laku. Apalagi kalau barang-barang
tersebut belum didistribusikan ke daerah. Malah semakin laku keras, karena bisa
jadi oleh-oleh mudik yang spesial.
Fenomena
seperti ini memang hampir selalu terjadi di setiap bulan Ramadan. Peningkatan
jumlah pebisnis atau pedagang musiman bukan lagi mengejutkan. Boleh jadi karena
rentetan kebutuhan saat lebaran memang mampu menjadi angin segar bagi pemilik
modal. Tapi yang pasti, semua ini karena meningkatnya budaya konsumtif
masyarakat saat Ramadan dan dilanjutkan menjelang hari raya.
Iseng-iseng
saya coba bikin list kebutuhan mulai awal ramadan sampai tengah bulan ini. Dari
yang paling kecil saja kurma, sampai yang lumayan fantastis angkanya yaitu
parsel lebaran. Wuih, udah langsung penuh saja buku catatan. Padahal, untuk
kelas kami, berbelanja masih mengandalkan pasar tradisional dekat rumah. Yang
tentu saja belum bersinggungan dengan aneka gerai perbelanjaan modern,
tempatnya aneka diskon yang godaannya bakalan lebih sadis merogok kocek kita.
![]() |
| Sumber gambar: Tripadvisor |
Pernah
juga saya mencoba ngabuburit di sebuah food court di dekat tempat tinggal saya.
Fantastis! Sekitar jam 4 sore, atau satu setengah jam menjelang waktu berbuka.
Hampir semuanya sudah reserved. Padahal pilihan tempatnya puluhan loh,
dengan ketersediaan tempat yang nggak sedikit juga. Tapi semua sudah dibooking
untuk acara bukber bahkan personal. Hal seperti ini memang lebih parah saat weekend tiba. Tapi,
bukan berarti pada hari biasa menjadi lebih sepi. Sama saja pokoknya.
Yang
lebih bikin heran lagi, warteg langganan pun meng-aminkan meningkatnya omzet
harian. Lah, saya sempat bingung sebenarnya. Katanya puasa, kok omzetnya malah
naik. Bukannya jatah makan justru berkurang ya? Ternyata tidak. Justru bertambah
karena dalam satu jam makan jenis lauk yang disediakan semakin beragam. Sehingga
makanan jadi yang dibeli pun bisa beraneka ragam. Kalau biasanya satu jenis
sayur sudah cukup, selama Ramadan bisa jadi 2 atau 3 untuk sekali makan.
*pijatkening
Tapi
mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur menjadi budaya. Nggak afdol rasanya
kalau Ramadan tapi sepi-sepi saja. Toh, budaya konsumtif masyarakat kita turut
menjadi penggerak perekonomian secara luas. Membuka peluang baru bagi yang
memiliki modal dan passion di dunia usaha.
Penambahan
jumlah pedagang atau pebisnis musiman tentu saja bukan semata-mata karena memanfaatkan
sikap konsumtif masyarakat secara umum. Tapi kejelian pebisnis dalam membidik
dan mengambil peluang tetap menjadi faktor penentunya.
Mungkin
juga teman-teman sudah sering mendengar kisah sukses yang berawal dari fenomena
musiman ini. Ya, awalnya memang membidik pasar Ramadan, kemudian berlanjut
hingga menjadi bisnis yang bersifat permanen. Ini bukan sekedar cerita, tapi
sudah banyak yang membuktikan. Dan tentu saja peluang seperti harus lebih
banyak ditularkan.
![]() |
| Sumber gambar: Metroasahan |
Budaya
konsumtif masyarakat yang meningkat di bulan Ramadan sebenarnya cukup
memprihatinkan. Karena dalam banyak keluarga, tabungan yang telah dipersiapkan pada bulan-bulan sebelumya justru hanya untuk mengantisipasi kebutuhan selama
satu bulan ini.
Di
sisi lain, bolehlah kita berkata bahwa Ramadan tidak hanya mengantarkan umat
muslim pada hari kemenangan, yaitu ketika raya tiba. Namun Ramadan mampu memberikan
kemenangan bagi para pedagang. Tidak sebatas pada omzet penjualan, tapi kejelian
dalam melihat peluang dan mengasah keterampilan bagi yang baru memulainya.
Ya, selalu ada dua sisi dalam setiap soalan. Budaya konsumtif yang sebenarnya kurang menguntungkan secara personal, tapi mampu membuka peluang baru serta memperbesar pipa perekonomian bagi sebagian orang. Tentu saja semuanya kembali pada keputusan individunya. Karena dalam menerapkan sebuah gaya hidup, tentu saja kekuatan diri harus menjadi pertimbangan yang mendasar.
Nah, kira-kira Temans mau ambil posisi di mana nih?







































Dengan orang2 pada beli baju lebaran, tante saya omsetnya selama Ramadhan memang meningkat. Kami bisa masak menu Ramadhan dan Lebaran secukupnya, plus (maaf) berbagi rezeki juga dg saudara kami yg butuh dibantu.
ReplyDeleteKalau sebagai diri sendiri, pengeluaran Ramadhan dan Lebaran memang lebih besar. Biasanya nggak ada takjil, jadi ada 1 atau 2. Begitu juga dengan Lebaran, masakan akan lebih mahal. Ketika diniatkan untuk berbagi dengan keluarga besar, Alhamdulillah rezekinya terganti.