“Empathy is about finding your echoes of another person in yourself “ – Mohsin Hamid
Empati adalah tentang menemukan gema dari diri orang lain
dalam dirimu. Begitulah setidaknya saya mengartikan sebaris quote dari seorang
Mohsin Hamid. Kata-katanya sederhana saja, tapi saya menyadari begitu dalam
makna yang ingin disampaikan bagi pembacanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendefinisikan
makna empati sebagai kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain. Empati juga melatih keterampilan serta
kepekaan seseorang untuk mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Keterampilan ini sangat penting untuk
dimiliki setiap individu, karena kemampuan mengembangkan empati akan
menumbuhkan kepedulian dalam diri seseorang.
Dalam sebuah laman berita yang saya baca beberapa waktu yang
lalu, seorang pakar di Child Trauma Academy mengatakan bahwa “Empati
adalah anugerah yang paling bermutu bagi ras manusia. Kita tidak bisa bertahan
hidup tanpa menciptakan hubungan dengan kelompok yang bisa berfungsi secara
bersamaan.” (The Asiaparents)
Untuk beberapa hal di atas pula saya yakin Teman-teman
setuju bahwa empati pada diri seseorang harus ditumbuhkan sejak awal
kehidupannya. Sejak berusia dini atau
kanak-kanak lebih tepatnya.
Fakta
mengejutkannya, bahwa kemampuan mengelola empati ini sebenarnya sudah tumbuh dalam
diri anak secara alamiah. Sejak seorang manusia
dilahirkan dalam wujud bayi, maka sejak saat itu pula mereka memilki
benih-benih empati. Maka untuk sekian
kalinya orang tua yang bertanggung jawab untuk menyuburkan benih-benih
tersebut.
Kita pasti sering mendengar cerita-cerita seperti,
ketika seorang bayi menangis, maka bayi lain yang berada di dekatnya akan ikut
menangis. Benar, kan? Atau, pernah juga kita mendengar bahwa perasaan seorang
ibu bisa tembus pada anak-anaknya. Bagi Teman-teman yang sudah menjadi orang
tua atau ibu, hal ini sudah pasti sering dialami.
Baca juga: Emotional Conversation with Kiddos
![]() |
| Pixabay.com |
Begitulah awal mulanya benih-benih empati dalam diri anak
mulai bersemi. Memang biasanya proses ini berjalan dengan sangat alamiah. Tapi
untuk menumbuhkembangkannya, tentu saja diperlukan campur tangan orang-orang di
dekatnya. Ibarat tanaman, empati pada diri seorang anak perlu 'dipupuk, diairi
dan disiangi, untuk berjaga-jaga jika ada gulma yang mengganggu pertumbuhannya.'
Kenyataan itu pula yang menyadarkan saya untuk berkomiteman
menumbuhkan benih-benih empati pada diri anak-anak. Najwa dan Najib yang
terus bertambah usia, mau tak mau pengetahuannya terus bertambah, pertemanan
pun semakin luas. Untuk itu kami harus
siap dengan segala risiko memaparkan mereka pada kehidupan yang begitu beraneka
ragam. Terlebih kami tinggal di Jakarta yang multikultural. Maka membekalinya
dengan keterampilan mengelola empati tak dapat dituna-tunda lagi. Mulai
sekarang, bahkan hari ini.
“ We have to teach empathy as we do literacy” – Bill Drayton
Menumbuhkan empati pada anak memang tak semudah
mengajarkan membaca atau berhitung dalam matematika. Ini dikarenakan mengelola
perasaan bukanlah hal yang dapat dengan mudah diterapkan berdasarkan sebuah
teori belaka. Butuh pemahaman dan pengalaman nyata yang membuat mereka
bersinggungan secara langsung dengan sebuah kejadian.
Untuk itu, orang tua harus jeli melihat situasi yang
memungkinkan anak-anak menumbuhkan keterampilan mengelola perasaannya secara
alamiah. Atau, secara sadar mendorong mereka mendapatkan lebih banyak pengalaman.
Bersama suami, saya sedang menerapkan beberapa hal kepada anak-anak di rumah. Mungkin saja ada
dari Teman-teman yang sedang berkomitmen dengan hal serupa. Mungkin 5 cara
berikut dapat menjadi inspirasi untuk menumbuhkan empati bagi anak, murid atau
keponakannya juga. Let’s check it out.
![]() | |
| Pixabay.com |
1. Mengidentifikasi perasaan
Sejak Najwa dan Najib kecil, saya terbiasa menanyakan
bagaimana perasaan mereka setelah bepergian atau melakukan suatu kegiatan.
Apakah mereka senang? Sedih? Gembira? Terharu? Atau marah.
Hal ini pula yang saya lakukan ketika mereka mengalami suatu
kejadian yang secara tidak sengaja harus dialami. Misalnya, ketika tiba-tiba
temannya memberikan hadiah kejutan, atau saat dia harus menerima ejekan. Saya
selalu menanyakan bagaimana perasaannya.
Pertanyaan senada juga kerap kali saya lontarkan pada mereka jika secara sengaja atau tidak menyakiti satu sama lain. Misalnya ketika adik marah kemudian memukul kakaknya. saya selalu bertanya, "kalau Adik yang dimarahi lalu dipukul Kakak, bagaimana perasaan Adik? Sedih atau senang?"
Kami mengajak mereka untuk mulai memahami perasaannya sendiri, lalu melatih untuk merasakan apa yang dialami orang lain. Tapi sebagai catatan, kami menerima perasaannya, tapi bukan perbuatannya. Marah boleh, tapi tidak boleh memukul.
Memiliki kemampuan mengidentifikasi perasaan akan memudahkan
anak mengenali perasaan orang lain. Sehingga mereka lebih mudah memahami posisi
orang lain, meskipun dalam posisi berseberangan atau berselisih paham.
2. Mengenalkan kosa kata tentang perasaan
Mengajak anak menamai perasaan tidak cukup dengan menjelaskannya.
Orang tua perlu menunjukkan pada situasi yang tepat. Terlebih, anak-anak belum
banyak memiliki perbendaharaan kata,. Maka jangan pernah bertanya bingung itu
seperti apa, karena bisa jadi anak-anak pun belum familiar dengan kata itu.
Mengajak anak membuat gambar emoticon bisa jadi salah satu
caranya. Misalnya kita menggambar emoticon senyum, maka ajak anak menamainya
dengan senang, bahagia atau gembira. Atau jika kita menggambar orang cemberut
atau menangis, maka tuntun anak untuk mengenalinya sebagai ekspresi kesedihan.
Selain itu, orang tua bisa menggunakan mimik wajah sendiri
untuk menunjukkan bagaimana semestinya seseorang mengekspresikan emosinya. Maka
tak salah jika pakar tumbuh kembang selalu mendorong orang tua untuk bersikap
ekspresif ketika mengasuh anak-anaknya.
Karena segala hal yang ada pada diri orang tua adalah pelajaran pertama
yang akan dengan mudah diserap anak.
| Pixabay.com |
3. Memiliki hewan
peliharaan
Jujur, memiliki hewan peliharaan sebenarnya bukan hal
mudah bagi saya. Saya dan suami perlu tarik ulur dan berdebat panjang terkait
yang satu ini. Berbeda dengan suami yang sejak kecil memiliki hewan peliharaan,
saya termasuk orang yang anti pati harus menambah pekerjaan mengurus binatang
dan segala kotorannya. Maka sebenarnya saya lebih memilih mengajak anak
memiliki tanaman peliharaan.
Tapi akhirnya saya menyerah dan setuju untuk memelihara ikan
dan burung di rumah. Karena 2 jenis binatang ini saya anggap masih lebih mudah
untuk dirawat. Sejak itulah kami selalu mengajak anak-anak untuk memerhatikan
binatang peliharaannya. Apakah sudah diberi makan? Apakah mereka kedinginan
saat hujan? Apa yang harus dilakukan jika akan ditinggal bepergian?
Kadang-kadang memang terasa tidak masuk akal, karena ikan
dan burung bukanlah jenis binatang peliharaan yang bisa diajak berinteraksi
langsung atau bermain dengan anak seperti halnya kucing atau anjing. Tapi cara ini lumayan membantu mengasah
kepekaan Najwa dan Najib pada peliharaannya. Setidaknya setiap pergi agak lama,
mereka selalu bilang, “Kasihan burung sama ikan, ya, Buk. Jangan-jangan mereka
lapar?” Begitu setidaknya yang sering saya dengar.
4. Memaparkan anak pada sisi lain lingkungan kita
Cara-cara seperti mengajak anak berkunjung ke panti asuhan,
atau mengikuti kegiatan bakti sosial dianggap sangat efektif untuk menggiring
empati anak. Meskipun saya sendiri belum pernah melakukannya bersama anak-anak.
Kami memilih cara lain seperti mengajak anak melihat sisi
lain di balik gemerlap Jakarta. Beberapa kali kami mengajak mereka melihat
kehidupan “manusia gerobak” atau orang-orang yang tinggal di kawasan kumuh.
Berkali-kali pula kami melihat Najwa tampak haru dan mulai belajar bersyukur
dengan segala hal yang dimilikinya.
![]() |
| Pixabay.com |
5. Mengajarkan perbedaan
Tinggal di lingkungan yang multikultural tentu saja sangat
membantu kami menjelaskan tentang perbedaan dan keberagaman masyarakat kita.
Meskipun tak jarang saya kewalahan untuk menjawab pertanyaan anak mengenai
mengapa mereka begitu dan kita begini. Atau, manakah yang lebih baik, kita atau
mereka?
Pertanyaan seperti ini biasanya muncul ketika anak melihat
perbedaan tradisi, budaya atau tata cara beribadah. Pertanyaan seperti itu
memang tak dapat dibendung. Cepat atau lambat setiap anak yang tinggal di
lingkungan seperti kami akan menanyakannya.
Di situ kami sebagai orang tua merasa sangat tertantang
untuk menjelaskan adanya keberagaman dalam masyarakat kita. Tapi lebih dari itu
semua, kami menekankan bahwa kita semua adalah makhluk Tuhan yang memiliki
rasa. Ketika ingin menyakiti, maka rasakan juga bagaimana jika kita yang disakiti.
Bahwa perbedaan tradisi atau budaya tidak
selalu menentukan kualitas manusia. Tapi sifat baik dalam dirinyalah yang akan
menjadi penentu kualitasnya. “Pada yang lebih tua kita harus menghormati. Sedangkan pada
yang lebih muda kita harus membimbing dan menyayangi.” Begitu biasanya suami
akan menasihati.
Terlepas dari itu semua, tentu saja kami sebagai orang tua
harus siap menjadi teladan. Karena tidak dapat dipungkiri sikap empati sebenarnya dapat ditularkan, dan bagi anak-anak tentu saja orang tua yang paling mudah untuk dicontoh segala tindak-tanduknya.
Kita pun harus konsisten baik ucapan maupun perbuatan. Sehingga anak tidak melihat adanya celah dan kesan bahwa orang tua hanya menggurui. Tapi tidak memberikan teladan yang nyata.







































Semua yang mb Damar paparkan itu aku setuju banget. Apalagi di jaman sekarang. Rasanya susah menumbuhkan rasa empati anak, kalau bukan dari orangtuanya sendiri yang memulai
ReplyDeleteApalagi terkadang malah lingkungan sering "mengajarkan" anak untuk tidak berempati
Iya Mbak. Semua memang harus dimulai dari rumah, tempat yang paling lama disinggahi anak-anak.
Delete