"Buk, kata Bu Guruku semua anak tidak boleh takut ke sekolah. Karena di sekolah kita akan bermain dan bersenang-senang."
Sudah 5 hari Najwa melalui masa adaptasi di sekolah
barunya. Selanjutnya KBM langsung aktif
dan hampir melewati satu minggu pertama di tahun ajaran 2017/2018. Najwa sangat
gembira, begitu setidaknya ekspresi yang dapat saya tangkap darinya. Sepulang
dari sekolah, adaa saja cerita baru dari mulutnya. Dia pun nampaknya ingin
berlama-lama di sekolah barunya itu. Setiap kali saya datang menjemput, Najwa
selalu bilang ingin bermain dulu. Begitulah sampai akhirnya saya tambahkan 30
menit setelah jam belajar selesai untuk digunakannya bermain-main di lingkungan
sekolah.
Situasi ini kontras dengan apa yang kami alami sekitar dua
hingga sebulan yang lalu. Saya sempat galau memilih sekolah untuk melanjutkan
pendidikan dasar Najwa. Antara sekolah swasta, negeri atau homeschooling
seperti yang pernah disarankan guru TKnya.
Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, usia Najwa
sangat mepet dengan batas minimal usia yang dipersyaratkan pemerintah untuk
mendaftarkan diri di sekolah negeri.
Kami pun mencoba mengikutsertakan Najwa dalam Tes Kesiapan Masuk SD yang diselenggarakan di sekolahnya. Dengan harapan
mendapatkan opini dari psikolog untuk menentukan langkah selanjutnya. Tetap
mendaftar ke SD, balik ke TK lagi, atau cuti panjang di rumah.
Dari hasil tes tersebut, Najwa dinyatakan siap. Maka
mantablah kami untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah dasar. Kami pun merencanakan mendaftar ke SD yang
direkomendasikan beberapa teman. Sadar usia Najwa ada di batas bawah, kami juga
mendaftar di SD Swasta sebagai cadangan.
Hari yang dinantikan tiba, 5 Juni adalah hari pertama
pendaftaran SD Negeri untuk gelombang 1. Dan sesuai prediksi, nama Najwa tak
sempat muncul dalam di web PPDB sekolah dasar. Usianya jauh di bawah
pendaftar yang lain. Rata-rata usia
pendaftar 7 tahun ke atas. Bahkan satu anak berusia 8 tahun sukses menduduki
peringkat pertama.
Ya, pendaftaran
sekolah dasar negeri memang memakai faktor
usia sebagai persyaratan utama. Jadi, siapa yang usianya cukup, ya
dialah yang berhak mendapatkan kursinya.
Najwa sempat kecewa, namun dari awal saya sudah memberikan
pengertian. Bahwa kami akan mencoba kembali di gelombang 2. Siapa tahu rezeki
Najwa ada di sana. Benar saja, saat kami mendaftar di gelombang 2, nama Najwa
sempat berada di urutan ke-20 di SDN pilihan pertama. Meskipun hanya bertahan selama 30 menit saja.
Menit berikutnya nama Najwa telah bergeser ke pilihan kedua. Itu pun terus bergeser sampai urutan ketiga
dari bawah. Tapi kami bersyukur karena pada hari pengumuman nama Najwa masih
tetap di urutan yang sama. Alhamdulillah, Najwa di terima di SDN Favorit
pilihan kedua.
Mengapa Memilih SD Negeri
Tentu saja kami punya alasan mengapa pada akhirnya memilih
SD negeri sebagai salah satu tempat belajar Najwa. Selain karena dekat dengan
rumah, jam belajarnya pendek, hari efektif hanya Senin sampai dengan Jumat. Di
SD negeri Najwa juga berkesempatan untuk bersinggungan langsung dengan beraneka
keragaman. Mulai dari agama hingga
background ekonomi keluarga siswa yang sangat beragam. Anggap saja cara kami
yang terakhir ini terlalu ekstrim, tapi kami yakin ada hikmah yang akan Najwa
petik dari lingkungan barunya.
Oh ya, ada satu lagi. Gratis!! Mungkin alasan terakhir ini
juga patut saya tuliskan. Karena kenyataannya sampai hari ini kami belum
mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya pendaftaran Najwa. Kebutuhan pribadi siswa seperti seragam,
sepatu serta alat tulis tentu saja tetap kami sediakan. Tapi itu semua sifatnya
juga dibebaskan. Wali murid bebas membeli di pasar atau toko manapun yang
menyediakan.
Kami pun sangat bersyukur karena Najwa membeli sebagian
besar perlengkapan pribadinya dengan uang angpau lebaran. Hihihi …
*AnakIbuMemangBaik
Honestly,
masalah gratis bukanlah alasan utama dari keputusan kami. Nggak masalah
juga kalau sebenarnya ada biaya, asalkan wajar dan masuk akal. Dan
memang kami tidak merencanakan sekolah mahal seperti fullday atau yang
lainnya. Salah satu pertimbangannya karena saya di rumah, sehingga
anak-anak tidak perlu berlama-lama di sekolah. Nanti kalau sudah kelas 6
atau SMP mereka juga bakalan lebih banyak kegiatan di luar. Jadi,
sekarang waktunya puas-puasin di rumah.
Setiap pilihan pada akhirnya pasti menimbulkan konsekuensi
bagi pemilihnya. Begitu pun mengenai pilihan kami untuk melanjutkan pendidikan
Najwa di sekolah negeri. Ada banyak hal
yang mungkin tak se-ideal yang kami harapkan. Terlebih bagi saya, yang sudah
sejak tahun 2005 bekerja di sekolah swasta.
Masalah fasilitas, aktivitas pendukung, dan model
pembelajaran merupakan hal utama yang menarik perhatian. Meskipun pada akhirnya
saya mampu berdamai dengan semua itu. Melihat effort sekolah negeri yang terus
berbenah, saya rasa semua itu sudah cukup meyakinkan kami untuk menitipkan
ank-anak di sana. Dengan guru yang dan seluruh staf yang ramah dan penuh
perhatian. Toh, pada akhirnya orang tualah penanggung jawab utama atas
perkembangan anak-anak, bukan?
Kami pun semakin kompak untuk
mensupport pendidikan Najwa dari rumah. Bukan karena pelajaran dari sekolah
kami rasa kurang, tapi untuk melengkapi yang memang tidak dia dapatkan. Misalnya seperti beberapa hal berikut:
Menambah Materi Pelajaran Agama di Rumah
Seperti yang teman-teman ketahui, muatan agama di sekolah
negeri pasti nggak sebanyak di sekolah Islam. Pastinya ini jadi tantangan
terbesar buat kami. Terlebih sebelumnya Najwa belajar di TK Islam. Rasanya kami
harus bertanggung jawab dengan segala hal berkaitan dengan nilai-nilai
keislaman selama di TK. Mulai dengan hal yang berkaitan dengan amalan wajib,
sunah bahkan nilai keislaman dalam bermasyarakat.
Awalnya saya merasa ini bakalan berat. Apakah saya
sanggup menjalankan tanggung jawab ini? Tapi kemudian pendapat saya berubah.
Bagaimana kalau kami belajar bersama
saja? Sehingga mau tak mau saya pun akan menyempurnakan pelajaran agama
saya.
Ini bukan hanya tentang belajar salat dan ngaji, atau
menghafal surat pendek, hadist dan
doa-doa. Ini tentang belajar agama secara mendalam. Tentang nilai dan tingkah
polah yang diajarkan dalam Islam. Proses ini bisa jadi akan panjang dan lama.
Jauh lebih lama dibandingkan jika saya memasukkan Najwa di sekolah Islam.
Ahh … Tapi tak mengapa. Bukankah seharusnya belajar agama
itu sepanjang masa selama usia masih ada? Bukan berhenti saat sudah tertib beribadah dan
hafal ratusan ayat. Berdasarkan keyakinan ini akhirnya kami pun berani
melangkah.
Pembiasaan terkait ibadah dan penerapan nilai-nilai kami
susun sedemikian rupa untuk dapat diaplikasikan tidak hanya di rumah, tapi di
mana saja. Pemahaman akan kehidupan beragama pun seringkali kami sampaikan
dalam bentuk cerita, menarik hikmah atas suatu kejadian, bahkan dengan
mengamati lingkungan sekitar. Tidak mudah memang, tapi kami berusaha untuk istiqomah.
Mengupayakan Pengalaman Nyata dalam Mendidik
Salah satu bentuknya adalah fieldtrip, edutrip atau apalah
biasanya teman-teman bisa menyebutnya. Sejak Najwa masih di bangku TK kami
sudah sering melakukan kegiatan ini. Tak sekedar rekreasi untuk melepas penat,
beberapa traveling jarak jauh maupun dekat yang kami lakukan bersama keluarga
sebisa mungkin kami sisipi dengan muatan edukatif.
Misalnya seperti berkunjung
ke museum untuk memperkenalkan sejarah Indonesia. Tamasya ke Kebun Raya
Bogor sambil mengenalkan dengan aneka sepsis tumbuhan yang berasal dari berbagai
negara. Mengajak anak menggunakan moda transportasi KRL untuk mengajarkannya
budaya antri . Termasuk di dalamnya mengenalkan anak tata cara membeli dan
menukar e-ticketing. Bahkan acara pulang
kampung pun kami manfaatkan untuk belajar tentang kehidupan pedesaan. Pergi ke sawah, mandi di
sungai dan memberi makan ternak.
Hal-hal seperti ini nyaris tidak mungkin kami dapatkan di
sekolah negeri. Karena berdasarkan informasi yang saya dapat dari teman-teman
wali murid, aktivitas pengenalan langsung di lapangan memang tidak diagendakan
dalam program sekolah.
Baca juga : Piknik Ala DuoNaj #3 - From Sky World to Bird Park
Baca juga : Piknik Ala DuoNaj #3 - From Sky World to Bird Park
Mengenalkan Bahasa
Inggris di Rumah
Saya bahkan baru tahu bahwa anak SD baru mendapatkan
pelajaran Bahasa Inggris setelah berada di kelas 6. Tentu saja ini lumayan
mengejutkan. Tapi tak apalah, karena hal ini semakin menguatkan tekad saya
untuk mengenalkan bahasa Inggris dari rumah.
Sekali lagi kami akan belajar bersama. Merancang materi yang
sekiranya menyenangkan, namun dapat memperkaya keterampilan berbahasa anak-anak. Bahwa ini tidak akan selalu mudah, saya sangat memahaminya. Tapi saya
yakinkan untuk terus mencoba.
Fiuhh!! Rasanya tugas
menjadi orang tua semakin banyak. Padahal ini baru SD kelas 1 pulak, hahaha …
Mungkin saya memang terlalu berlebihan, hihihi .. *AmbisiEmak. Tapi mau gimana
lagi, menghadapi Najwa yang aktif plus ceriwis nya minta ampun. Emak bapaknya
harus pasang kuda-kuda. Sekali dia tanya trus saya jawabnya aoao, bakalan
marah-marah nanti si bocah.
Tapi jangan dibayangkan bahwa kami ini orang tua yang super
kaku. Nggak banget! Tentu saja kami punya cara untuk mendidik DuoNaj dengan
cara-cara yang santai dan tidak menakutkan.
Dan cara-cara ini terus kami kembangkan, bahkan bongkar pasang untuk
mencari yang paling pas untuk anak-anak.
Apapun kondisi yang sekarang kami hadapi, hanya bersyukur cara yang paling tepat untuk
menyikapi segalanya. Memang tidak sedikit orang tua yang lebih memilih sekolah
swasta dengan segala keunggulannya. Namun tak sedikit pula yang melakukan
segala upaya untuk bisa masuk di sekolah pemerintah.
Untuk kami yang sudah
mendapatkan kesempatan itu, hanya berusaha secara maksimal untuk mensupport
anak-anak yang bisa dilakukan. Selebihnya, tentu saja berdoa. Ya nggak?
Have fun with your parenthood journey, as always! 😊😊😊😊








































Sekolah negeri atau swasta sm2 punya konsekuensi hanya bentuknya beda hehehe . Yg penting semangat menuntut ilmunya :)
ReplyDeleteMau sekolah dimanapun, tanggung jawab pendidikan anak tetap di tangan orang tuanya. Dan, rumah adalah sebaik-baiknya sekolah. Semangat Najwa dan Ibuknya.....Selamat ya sudah jadi anak SD sekarang:)
ReplyDelete