Suami paling ribut kalau anak
lanang sudah minta pakai jilbab, mukena atau minta bedakan kayak saya atau
kakaknya. Padahal, nih. Dari kecil saya selalu memperlakukan selayaknya anak
laki-laki. Pilihan warna dan model baju selalu khas cowok, bedak pun saya nggak
pernah pakein dari bayi. Ya, selain ngikut saran dokter, karena memang ibuknya
nggak suka ngasih bedak sama bayi. Jadi cemong-cemong gitu trus bau keringatnya
nggak kecium lagi. Hehe …
Mungkin faktor teman bermain
lumayan ngaruh juga sama anak. Kebetulan, di lingkungan kami lebih banyak anak
perempuan ketimbang anak laki-laki. Jadilah si kecil lebih banyak main sama
mereka, ditambah temen-temen kakaknya yang cewek-cewek semua. Belum lagi di
rumah dia lebih banyak sama saya ketimbang ayahnya. So, nggak perlu heran kalau banyak kebiasaan
saya yang ingin ditirunya.
Sempat khawatir juga sama si adik
yang suka ribut minta bedak biar cantik kayak ibu. Tapi kemudian saya terus
mengamati perkembangannya yang insya Allah laki banget. Jenis permainan dan
gerak fisiknya khas laki-laki. Meskipun saya tidak melarangnya bermain
masak-masakan atau anak-anakan bersama kakaknya. Anak laki-laki butuh
keterampilan itu juga, kan? Jadi nggak masalah menurut saya.
Makin ke sini, saya mulai memilah
antara sifatnya yang lagi seneng-senengnya meniru. Atau karena kecenderungan
gender. Hal-hal seperti minta memakai jilbab, mukena atau berbedak, saya rasa
itu karena suka meniru saya dan Najwa saja. Karena pada lain waktu si kecil
juga suka bergaya seperti ayahnya.
Sedangkan mengenai kebiasaannya
ingin dibilang cantik seperti kakak dan ibu, kami segera mengoreksinya. Dan begitulah
awal mulanya kami mulai intens mengenalkan perbedaan jenis kelamin pada anak.
![]() |
| Edit foto demi pengen punya kumis kayak ayah, wkwkwkw ... |
Memberi Penjelasan Sederhana
tentang Perbedaan Laki-laki dan Perermpuan
Dalam berbagai kesempatan, baik
saya, suami atau Najwa selalu memberi tahu si kecil bahwa adik itu laki-laki
sama seperti ayah. Kalau kakak sama seperti ibu, perempuan. Ibu dan kakak , cantik, karena perempuan. Kalau adik dan ayah, ganteng, karena laki-laki.
Begitu pun dalam hal berpakaian,
saya selalu bilang bahwa rok , jilbab, mukena untuk ibu-ibu atau anak
perempuan. Kakak sama ibu memakainya. Bapak-bapak pakai sarung, songkok. Seperti adik dan ayah. Bedak dan lipstik
untuk ibu-ibu. Adik dan ayah nggak pakai, karena laki-laki.
Begitu terus menerus kami
jelaskan dengan bahasa anak-anak. Ya, pastinya harus berulang-ulang. Karena
terkadang mereka nggak langsung paham 100% jika dijelaskan sekali atau dua kali
saja.
Tentang Alat Kelamin
Anak usia 2 sampai 6 tahun memang lagi antusias banget
sama yang namanya alat kelamin. Jadi nggak perlu heran ketika ada fase mereka
suka "megang-megang". Si kecil pun pernah mengalaminya. Biasanya, sih, saya
ingatkan jangan dipegang-pegang karena tangannya bisa kotor. Atau jika
tangannya kotor, ti*itnya nanti gatal.
Si kecil juga pernah bertanya, “Kok,
kakak nggak punya ti*it?" Nah, pada kesempatan seperti itu langsung saya
jelaskan. Bahwa yang punya ti*it hanya anak laki-lakai. Perempuan pipisnya
bukan dengan ti*it, tapi alat yang lain. Maka dari itu, adik dan kakak berbeda.
Beri Kesempatan Bermain dengan
Ayah
Pada waktu-waktu tertentu, saya
selalu memberikan kesempatan untuk si kecil bermain hanya dengan ayahnya saja.
Permainannya pun tak melulu melakukan mainan anak laki-laki. Misal
mobil-mobilan, atau perang-perangan. Tapi bisa juga dengan cara mengenalkan
pada hobi atau kesenangan ayahnya. Misalnya merawat binatang peliharaan,
bersepeda atau ikut ke bengkel.
Arahkan si kecil untuk bermain
fisik dengan ayahnya. Misalnya dia ingin bermain silat atau perang-perangan,
biasanya saya arahkan dengan ayahnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan saya
pun melakukannya jika sedang tidak ada suami.
Tentang Rasa Malu
Malu di sini untuk hal-hal yang
berkaitan dengan kemaluan saja, ya. Misalnya tidak telanjang saat ke luar rumah. Memakai handuk saat
keluar dari kamar mandi. Dan memberitahunya bagian tubuh mana yang tidak boleh
dipegang orang lain. Tentunya selain ayah, ibu atau dokter.
Untuk jenis mainan, saya tidak
terlalu membatasi. Karena praktiknya, kan, teman bermainnya Najwa. Jadi
mainannya pun masih campur. Nah, kalau soal baju, baru agak saya batasi
pemilihan warnanya. Bukan apa-apa, karena ayahnya nggak setuju kalau anak
lanangnya pakai pink, hehehe … Kalau ibunya sih, oke-oke saja. Palingan cuma pink
sama purple yang saya skip. Kalau merah masih oke.
Begitu pun soal pekerjaan rumah.
Saya tetap kenalkan pada keduanya pekerjaan rumah yang sama. Mulai dari
menyapu, mencuci piring dan baju, semua anak laki-laki atau perempuan harus
bisa.
Emang, sih. Jadi ortu nggak pernah
ada habisnya, ada saja yang harus dipelajari dan ajarkan, udah semacam guru
tanpa sekolah formal kita, hehehe … Tapi
jangan lupa, sebenarnya dari anak-anak juga kita belajar. So, stay happy, ya,
Moms.
-DNA-
#ODOP
#day8
#bloggermuslimahindonesia





































Di lingkungan pesantren aisyah sudah dibiasakan di pisah sejak kecil kak, anak laki2 main dengan laki2, begitu juga sebaliknya..
ReplyDeleteJadi mereka tau batasan laki2 dan perempuan dari kebiasaan.. :)