Setiap calon ibu pasti mengharapkan seorang suami penjaga,
ayah siaga bagi diri dan calon bayi yang dikandungnya. Yang siap mendampingi si
ibu dan janin dalam rahimnya. Menjadi supporter ketika melalui masa-masa
berat di trimester pertama. Tertawa bersama ketika kondisi kehamilan mulai
membaik pada trimester kedua. Dan kemudian siaga saat berbagai hal bisa terjadi
pada saat usia kandungan mencapai trimester ketiga.
Dulu, sebagai calon ibu baru. Saya pun pernah memimpikan hal
tersebut terjadi pada kehamilan yang pertama. Terlebih kami berdua adalah
"pasangan koboi", yang hanya bertemu 3 kali hingga sampai di meja akad nikah.
Rasanya masih pengen “pacaran”. Bulan madu layaknya muda-mudi yang sedang dibuai
asmara sebagai pasangan halal.
Tapi takdir berkata lain, karena Allah langsung memberikan
rezeki kehamilan setelah satu bulan usia pernikahan. Trimester pertama saya
lalui dengan sangat berat. Mual dan
muntah hampir setiap hari hingga akhir bulan ketiga. Sendiri,
karena saat itu kami adalah pasangan jauh-jauhan, LDR maksud saya.
Kondisi ini semakin memburuk ketika saya meratapi realita
yang tak seindah ekspektasi di awal. Berharap suami siaga, apa daya hampir setiap bulan saya
harus periksa sendiri ke dokter kandungan. Jadwal periksa yang sering kali
tidak sesuai dengan jadwal pulang suami, mau tak mau membuat saya merasa tak perlu menunggu. Saya harus
maklum, karena tekanan pekerjaan yang memaksa situasi ini terjadi.
Happiness is the key
Memasuki trimester kedua, kondisi kehamilan mulai membaik.
Saya pun mulai menikmati setiap perubahan dalam diri. Sedikit demi sedikit saya
tinggalkan ekspektasi yang terlalu ideal, dan mulai bersahabat dengan
kenyataan.
Saya sibukkan diri dengan pekerjaan di kantor pada hari-hari
biasa. Dan bermain dengan keponakan saat akhir pekan tiba. Dan jadwal ini bisa
saja berubah sewaktu-waktu ketika suami pulang dari perantauan.
Perasaan bahagia sangat membantu pemulihan kondisi saya.
Pertumbuhan janin pun semakin menggembirakan. Kehidupan kembali berjalan normal
dan saya semakin bahagia dengan kehamilan ini, meskipun tanpa suami siaga.
![]() |
| Hamil pertama |
Hingga sampai di trimester ketiga, saya putuskan mengambil
cuti 15 hari sebelum Hari H. Sengaja mengambil cuti lebih awal karena mempertimbangkan
bobot kehamilan saya yang terus membengkak, bahkan hampir overweight dan
preklampsia.
Kondisi psikis mulai tidak stabil setelah melewati hari H, namun si jabang bayi tak menunjukkan reaksi ingin dilahirkan. Saya terus berdoa
semoga dapat melahirkan di hari Sabtu,
sehingga suami dapat mendampingi di rumah. Tapi kembali Allah memberikan cerita berbeda, karena pada
hari Senin setelah Sabtu dan Minggu suami stand by di rumah, kontraksi persalinan
justru baru saya rasakan pada hari Seninya.
Sensasi Melahirkan Tanpa Suami Siaga
Setelah melalui berbagai pertimbangan medis, kondisi fisik
dan psikis saya dinyatakan tak mampu menunggu lebih lama untuk persalinan
normal. Operasi caesar pun dilakukan, tanpa pendampingan suami. Semuanya begitu
cepat, hingga satu jam kemudian bayi cantik buah cinta kami menangis memecah
malam. Saya bahagia, begitupun suami yang pada pagi harinya baru menginjakkan kaki
di ibukota, kini kembali berada di dalam kereta menuju kampung halaman.
Drama dimulai kembali saat hendak menyusui, ASI tak kunjung
keluar dan kepercayaan diri pun menurun tajam. Suami saya memang tidak memaksa
saya untuk memberikan ASIX, namun dia memberi semangat meskipun tak terlihat
agresif. Mungkin dia khawatir saya semakin kalut ketika terus-terusan didorong,
maka dia terus bersikap santai sambil berkata, “Yakin semua akan baik-baik
saja, kalau sekarang ASI belum keluar, nanti juga pasti bisa. Kalau sekarang
belum bisa full ASI, jangan memaksakan diri sehingga semakin frustasi. Yakin semua baik-baik saja, karena kita sudah mengusahakan yang terbaik.”
Saya sempat merasa keberatan, mengapa suami cenderung tidak mendukung ASIX dengan terlihat tidak semangat mendukung saya. Namun kemudian saya menyadari, apapun itu memang
agak sulit baginya untuk memenuhi kriteria ayah siaga selayaknya ayah pada umumnya.
Hari ke-6 pasca
persalinan suami saya kembali ke Jakarta. Kembali bergelut dengan rutinitas dan
tingginya tekanan kerja. Dengan kondisi kami yang LDR, saya pun memaklumi mengapa
dia tak terlalu idealis menjadi breastfeeding father. But, soon I realize that
he is the best father.
Ayah Sekaligus Teman bagi Anak-anak
Suami memang tidak sepenuhnya mengambil peran dalam
pengasuhan. Selain karena faktor LDR
pada saat kelahiran anak pertama, kesibukan dan tingginya mobilitas pekerjaan semakin kami rasakan hingga kami
berkumpul di Jakarta dan lahirlah anak kedua.
Sering kali kami harus berpisah berhari-hari karena tugas ke
luar kota atau bahkan dikejar deadline. Tapi dia pastikan dirinya ”ada” saat
kami butuhkan. Anak-anak pun tak pernah merasa kekurangan perhatian atau kasih
sayang dari ayahnya.
Dia hadir tidak hanya sebagai ayah, tapi sebagai teman, suami mampu masuk dalam dunia anak-anak. Tak jarang anak-anak mengganjarnya
dengan pujian, tentu saja karena mereka tahu dan mampu merasakan bahwa ayahnya
adalah ayah terbaik bagi mereka.
Keterbatasan kuantitas pertemuan baik dulu maupun sekarang, sama
sekali tak mengurangi kualitas hubungan dengan anak-anak. Sebagai ibu, saya pun
merasakan suami selalu “ada” dan
mewarnai hari-hari mereka.
Tak memenuhi definisi breastfeeding father, tapi suami membuktikan menjadi best father for his
kids. Tentu saja hal ini sempat
bertentangan dengan idealisme saya sebagai ibu baru. Yang ingin semuanya
berjalan sesuai ekspektasi saya, sempurna. Memiliki suami siaga dan
breastfeeding father untuk anak-anak.
Tapi realita tak dapat ditolak. Ada banyak hal kemudian yang menjadi
kendala atau lebih tepatnya konsekuensi dalam perjalanan rumah tangga kami.
Memaklumi satu sama lain menjadi kunci, hingga akhirnya tak berkuranglah
kualitas hubungan orang tua dan anak, begitu pun suami dan istri. Thank you, dear Hubby. You did a brilliant job!💓💓
Terkadang, ibu menyusui tak dapat menolak adanya halangan memberikan ASIX. Tapi menyerah bukanlah keputusan terakhir. Terus mencoba dan terus berikan setitik ASI yang kita miliki. Yakinlah, anak-anak pun dapat merasakan usaha kita.
Begitu pun halnya dengan menjadi breastfeeding father. Tidak berhasil pada satu fase sebagai ayah, bukan berarti tak dapat mengusahakan sebagai yang terbaik untuk anak-anak.
Keep spirit for breastfeeding!
#ODOP
#day7
#bloggermuslimahindonesia









































Hmmm ... tarik naps dulu. Saya jadi merasa beruntung, dulu suami super sibuk pas saya hamil pertama, tapi kami tinggal bersama. Ternyata ada yang nyesek, tapi bisa happy. Ohya, katanya memang kalau cesar, ASI agak susah. Baru keluar beberapa hari sesudah bayi keluar. Itu mungkin juga hanya pengalaman teman saya. Love this story. Verry much.
ReplyDeleteHalo, Mbak. Mitosnya sih, gitu. melahirkan secara SC memengaruhi jumlah ASI. Tapi pada anak kedua saya tidak mengalaminya, sehingga sukses ASI hingga 2,4 tahun. Jadi mungkin mitos saja, Mbak.
DeleteBacanya sampai menggeh-menggeh mbak. Setiap kehidupan seseorang pasti ada kurang dan lebihnya. Nice, I love this article.
ReplyDeleteMasya Allah..
ReplyDeleteBarakallahu fiikum kakak dan keluarga.. ^^
Nggak perlu ditemani, istrinya sudah setrong ini hihi :D...Siaga dalam makna yang berbeda ya, Mbak. Alhamdulillah nggak lama LDRannya..jadi si Ayah bisa cepet lunasin PRnya ke anak-anak :)
ReplyDelete