Beberapa bulan terakhir, si kecil sering menunjukkan aksi
histerisnya pada saya. Nangis kenceng sambil teriak-teriak, badannya kaku dan
cenderung melawan, terakhir dia bakalan muntah. Kejadian seperti ini tidak
hanya dilakukannya saat di rumah. Bahkan beberapa kali saya harus menghadapinya
saat berada di tempat umum. Seperti di pusat perbelanjaan, tempat wisata bahkan
saat sedang kegiatan di sekolah Najwa.
Dulu, saat baru memiliki satu anak. Saya sempat malu dan
menjadi emosional. Tapi sekarang saya semakin percaya diri menghadapi aksi
histeris balita seperti ini. Karena fase-fase seperti ini hampir di alami oleh
setiap balita pada rentang usia menjelang 2 hingga 4 tahun.
Tantrum atau bisa juga disebut Temper Tantrum dalam bahasa medik.
Fase ini merupakan salah satu tahap tumbuh kembang balita yang unik. Pada
tahapan yang sangat sensitif ini, balita cenderung tantrum untuk
mengekspresikan kemauannya. Seperti yang kita ketahui, balita cenderung lebih
besar kemampuan mengekspresikan perasaannya, ketimbang kemampuannya dalam
melakukan keterampilan tertentu. Inilah
salah satu faktor yang mendorong terjadinya tantrum. Sebagai bentuk ekspresi
menunjukkan apa yang dirasakannya.
Awalnya, saya mengira semua jenis aksi histeris anak ini
sebagai tantrum karena frustasi atas keinginannya mengekspresikan rasa.
Sehingga dengan mudahnya saya melakukan ini dan itu untuk menenangkan bahkan
menyenangkan hatinya. Hal seperti ini didukung pula oleh orang tua saya yang
cenderung tidak tega melihat cucunya menangis sampai muntah. Ya, namanya juga mbah, pasti lebih sayang sama cucunya ketimbang kita anak-anaknya. Berdasarkan
pengalaman, sih. Hehehe.
Namun kemudian saya belajar dari berbagai portal perkembangan
anak, setidaknya ada 2 jenis tantrum yang perlu disikapi dengan cara yang
berbeda.
1. Tantrum Frustasi
Terjadinya tanrum frustasi biasanya dikarenakan keinginannya
untuk menambah suatu jenis keterampilan, tapi belum berhasil. Atau ingin melakukan suatu hal, tapi belum mampu. Misalnya dalam
aktivitas belajar bersepeda, kemudian si kecil belum berhasil mengayuhnya, maka
bisa jadi dia menangis histeris.
Atau saat si kecil ingin memanjat, entah itu tempat tidur,
meja atau tangga rumah. Kemampuannya yang memang belum sempurna kerap kali
menyebabkan keterbatasan dan berujung frustasi karena nggak kesampaian.
Pada anak-anak yang cenderung berkemauan tinggi, kejadian
tantrum akibat frustasi ini bisa jadi berlangsung berkali-kali. Oleh karenanya
penanganan yang tepat dan pendampingan serta support dari orang-orang
terdekatnya, terutama orang tua tidak dapat diabaikan lagi.
2. Tantrum Manipulatif
Nah, kalau yang ini perlu diwaspadai, dan orang tua harus
jeli mengindikasi tanda-tandanya. Pada kejadian tantrum manipulatif, biasanya
anak sedang melancarkan aksinya untuk mendapatkan sesuatu. “Ahh … Kalau aku
nangis pasti nanti kemauanku dituruti.”
Begitu mungkin yang ada dalam batinnya.
Anak saya berkali-kali melakukan aksi ini. Karena cenderung
memiliki pembawaan yang lebih ekspresif namun berkemauan tinggi, penanganan
untuk anak kedua yang kebetulan laki-laki jauh lebih sulit dan rentang waktunya
lumayan lama. Berbeda dengan anak pertama. Saya belum sempat berkonsultasi
mengenai hal ini, apakah jenis kelamin anak memengaruhi tingkat histeris
mereka. Mungkin lain waktu akan saya
buat perbandingan di postingan yang lain.
Menangani anak dengan aksi tantrum manipulatif memang lebih
menguras energi. Karena pada dasarnya mereka memang sengaja melakukannya untuk
mendapatkan sesuatu. So, sudah pasti effort-nya lebih besar ketimbang karena
frustasi biasa.
Itulah sebabnya, menangani anak dengan 2 jenis tantrum di
atas tidak bisa disamakan. Pun, orang tua harus lebih teliti dalam
mengindikasi.
1. Penanganan pada kasus tantrum frustasi
Karena pada kasus ini anak cenderung mengekspresikan
perasaannya, misal karena tidak mampu melakukan sesuatu. Maka yang
dibutuhkannya adalah dukungan dan pendampingan dari orang tua. Luapan emosi yang cenderung meledak-ledak
memberikan kesempatan pada kita untuk menunjukkan, “Aku ada untukmu.” Berikan
pelukan, dengarkan curahan hatinya, bantu dengan cara mendukungnya merasa BISA.
Anak saya sering berteriak kemudian menangis saat gagal atau
takut melewati seluruh tangga dalam permainan outdoor Jembatan/ Tangga Pelangi. Faktor motorik yang
belum sempurna, ditambah rasa takut jatuh membuatnya merasa frustasi saat tidak
mampu menyelesaikan tantangan yang ada dalam permainan.
Saya pun tidak memaksakan anak untuk melalui semua tangga.
Tapi dasar namanya anak-anak, rasa penasaran dan ingin seperti teman-temannya
membuatnya terus mencoba, meskipun sambil sesekali harus frustasi.
Saya coba mendukungnya dengan menunjukkan bagaimana cara
yang aman. Bagaimana tangan harus berpegangan disusul kaki melangkah. Menggunakan
kaki yang mana sebagai tumpuan, dan melatih konsentrasi dengan melihat setiap
tangga yang akan dinaiki. Butuh waktu sampai anak benar-benar bisa melaluinya.
Tapi kini, setelah dia mampu melalui semuanya. Anak saya sangat gembira dan
selalu berkata, “Aku hebat, kan, Buk?” Tentu saja dua jempol saya berikan untuknya.
Penanganan pada kasus tantrum akibat frustasi bisa jadi
lebih mudah. Karena yang dibutuhkan anak adalah dukungan dan perasaan aman
dengan kehadiran dari orang-orang terdekatnya.
2. Tantrum Manipulatif
Hem, tarik napas dulu sebelum melanjutkan pada bahasan yang
satu ini. Karena hampir satu bulan ini, saya sedang diuji dengan si kecil
yang lumayan sering menunjukkan indikasi
tantrum manipulatif. Kok, kayaknya saya sok tau banget si kecil lagi tantrum manipulatif.
Ya, karena saya benar-benar mengamatinya. Hal Ini juga yang belakangan lumayan
menguras energi dan kesabaran saya, karena si kecil bisa tantrum di mana saja,
kapan saja.
Kejadian yang masih anget baru saja saya alami sekitar 2 hari yang
lalu. Waktu itu saya dan DuoNaj pergi berbelanja ke salah satu hypermarket di
dekat rumah. Saya juga sok gaya-gayaan, biasa belanja di toko sebelah rumah, ee
.. ndadak belanja ke hypermarket. Hahaha… kualat BukNaj. Sebenarnya alasan saya
berbelanja ke sana karena mau menghabiskan voucher lebaran saja. Pas susunya
anak-anak habis, ya sudah, saya bawa DuoNaj belanja tanpa bapaknya.
Balik lagi ke masalah tantrum. Saya ingat betul, waktu itu setelah selesai
berbelanja, si kecil (Najib) minta
bermain di Time Zone. Saya dan Najwa menolak karena kami prefer ke tempat
bermain yang lain, yang lebih sepi. Najib menolak dan memaksa ke tenpat bermain
pilihannya. Saya dan Najwa pun mencoba memberikan pengertian. Meskipun akhirnya
nggak merubah situasi. Najib malah menangis dengan kencang, menjerit-jerit
sambil berguling-guling di lantai.
Tiba-tiba saya dan Najwa menjadi pusat perhatian bak seleb
kenamaan, hehehe. Nggak hanya pengunjung, penjaga tenant sampai security
melihat kea rah kami. Ada yang merasa prihatin, nggak sedikit juga yang
kelihatan sebal. Ya, wajarlah. Mungkin mereka merasa terganggu dengan jeritan
dan suara tangis Najib.
Saya tetap berusaha tenang. Najwa dengan cuek-nya
meninggalkan saya dan Najib menuju tempat bermain yang diinginkannya.
Tinggallah saya sendiri menghadapi sorotan lampu kamera tatapan orang-orang. Saya coba
menenangkannya, memberikan pengertian, memluk, menggendong namun akhirnya
ditolak. Dan terakhir saya meninggalkannya.
“Wong edan!” Mungkin begitu pikir orang-orang. Tapi biarlah,
karena saya tidak serta merta meninggalkannya menangis. Saya pastikan tempatnya
aman, dan saya hanya menjauh beberapa langkah dengan tetap waspada pada kondisi si kecil.
Akhirnya Najib batuk-batuk seperti mau muntah, saya sudah
waspada dengan mengeluarkan tissue untuk membersihkan. Tapi kemudian dia
berdiri dan mengejar saya. Adegan selesai saat dia diam dalam pelukan hangat
BukNaj si ratu tega, hehehe.
Biar lebih gamblang, berikut cara menangani bayi tantrum manipulatif
berdasarkan pengalaman saya dengan menerapkan beberapa tips dari para ahli.
- Pahami kemauan anak, apakah wajar atau tidak. Jika memang wajar dan beralasan untuk dipenuhi, maka jangan langsung menolak. Membiasakan anak menunggu hingga keinginannya terpenuhi adalah salah satu cara untuk mengembangkan sifat sabar dan pengendalian diri.
- Kenali jenis tangisannya. Jika dia menangis dengan cara dibuat-buat, dikencang-kencangkan dan cenderung histeris tapi sesekali melirik orang tuanya. Maka bisa jadi dia sedang mencari perhatian kita. Hal ini adalah salah satu indikasi tantrum manipulatif.
- Time out. Ajak anak ke tempat tersendiri. Pisahkan dari teman-temannya jika sedang dalam permainan. Ajak ke kamar jika sedang di rumah. Bawa ke kamar mandi atau tempat yang lebih sepi jika sedang di keramaian. Dalam situasi terpisah, orang tua bisa memberikan pengertian perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat marah.
- Pelukan biasanya berhasil meredakan kemarahan. Sambil berusaha menenangkan dan memberikan kenyamanan pada anak, orang tua dapat membisikkan penjelasan tentang perilakunya.
- Orang tua tetap tenang. Tahan emosi, tahan keinginan untuk berteriak, maka situasi akan semakin terkontrol. Ingat selalu, amarah akan semakin memperkeruh keadaan.
- Tinggalkan. Meninggalkan anak dalam kondisi yang dapat diperhitungkan keamanannya dan dalam jarak dekat bisa menjadi semacam sinyal untuk anak. Bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan memengaruhi orang tua. Anak akan memahami usahanya sia-sia dan bisa jadi tidak ingin mengulanginya lagi.
Fiuh!!
Nggak mudah ternyata. Tapi nggak terlalu susah juga asalkan sudah dibiasakan.
Cara-cara seperti ini bisa jadi berhasil dalam rentang waktu tertentu. Dan akan
lebih cepat jika orang tua kompak melakukannya. Karena, kadang kali antara ayah
dan ibu saja sudah tidak kompak. Apalagi jika ada kakek atau neneknya.
Parenting
is a process, parenting is a journey. Tetap semangat dan nggak perlu galau
dengan si kecil yang histeris. Good luck! Dan tetap semangat!
-DNA-
#ODOP
#Day23
#bloggermuslimahindonesia








































Duh..mesti punya stok sabar tingkat tinggi nih...
ReplyDeleteIyak, betul. Jadi inget ortu kita kalau udah ngadepin anak rewel. Palingan kita dulu juga kayak gitu, heheheh
DeleteMenghadapi anak-anak harus ada jurus jitu ya mbak, jangan panik dan berikan pelukan hangat ini sangat ampuh
ReplyDeleteIyak betul, ternyata semua hal ada jurusnya, nggak cuma silat atau kungfu, kekekek
DeleteBetul, sebenarnya mendiamkannya dulu juga cara yang tepat, dengan begitu emosi kita tidak terpancing. Kalau pas di rumah, saya biasa mendiamkannya dulu.
ReplyDeleteWaduh anakku banget tuh. Kalau ada temenku, atau ada tamu, tantrumnya dibuat2. Sampai bingung kudu gimana. :'(
ReplyDeleteIya, biasanya kalau ada orang lain capernya semakin menjadi-jadi. Ini yang bikin ortu musti sabar plus kuat iman. hihihi
Deletekesabaran dewa kudu kita miliki dan pelajari kalau sedemikian parahnya ketika menghadapi hal tersebut diatas ya
ReplyDeleteHahaha, ibu-ibu pasti menguasainya. Kadang2 harus pakai jurus dewa mabuk, sok gak tau.
DeleteByuuh untungnya Najib punya ibuk hebat begini hihihi..
ReplyDeleteBtw, itu sorotan kamera yang sering aku rasakan dulu sama si mbarepku, mbak. Baru reda setelah SD kalau nggak salah ( oalah anak 2 aja lupaaa..haha)..Tapi sayangnya akau memang masih terbawa ngeman-eman dia, karena faktor kakaknya meninggal itu..Jadilah tantrumnya malah menjadi karena sering tak turuti...padahal salah ya
Btw, TFS:)
Ah, saya pun pernah seperti itu, Mbak. tapi begitu sadar dimanfaatkan sama anak-anak, langsung ganti jurus.
Delete