![]() |
| Waktu terus bergerak,namun sejarah tetap di tempat dan masanya. |
Saya tertegun cukup lama untuk mulai menulis tema Jangan Pernah Melupakan Sejarah yang menjadi challenge hari pertama dari Blogger Muslimah Indonesia. Padahl tema ini lagi nge-hits banget. Tapi nggak tahu kenapa saya malah galau aja pas mau menuliskan kalimat pertama.
Tapi ... Baiklah, sepertinya saya harus berbagi sedikit pengalaman saya bersama Najwa tentang cerita sejarah bangsa ini dan keluarga kami. Begini kira-kira awal mulanya.😉😉
Kurang lebih satu tahun yang lalu, saat Najwa begitu
tertarik dengan buku seri Bapak Bangsa yang sedang say abaca. Tjokroaminoto:
Guru Para Pendiri Bangsa, begitulah judul yang tertulis pada cover depan buku
bersampul coklat yang selalu kami letakkan di barisan kedua rak buku di rumah kami.
Barisan yang menyimpan beberapa nama yang mengisnpirasi dan layak untuk
diteladani.
Najwa memang selalu penasaran dengan buku-buku yang say
abaca. Terlebih jika saya terlihat serius, tertawa sendiri, atau kuat
berlama-lama hanya dengan menyusuri larik-lariknya. Saat itu pun Najwa langsung
bertanya, dan ingin tahu buku tersebut berkisah tentang apa.
“Buk, serius amat bacanya, itu buku apa, sih?”
“ Coba Kakak baca judulnya!"
Saya pun memintanya membaca tulisan dengan huruf kapital di bagian cover depan,
seraya memberikan bukunya. Najwa nampak kesusahan membaca ejaan lama untuk
tulisan Tjokroaminoto yang ditulis besar-besar dengan huruf capital. Tapi kemudian
dia mampu melafalkan kalimat “Guru Para Pendiri Bangsa” pada larik berikutnya. Saya pun berinisiatif membacakannya.
“ Buku ini berjudul, Tjokroaminoto- Guru Para Pendiri Bangsa”.
Najwa tertawa karena merasa lucu dengan nama yang saya sebutkan, kemudian bertanya siapa itu Tjokroaminoto?
Bercerita tentang apakah buku tersebut? Begitulah awalnya hingga saya mulai
mendongeng tentang Mbah Tjokroaminoto dan sekilas tentang sejarah bangsa ini
kepadanya.
Baca juga : Dari Rumah untuk Generasi Doyan Baca
Baca juga : Dari Rumah untuk Generasi Doyan Baca
Ya, saya sering menggunakan sebutan “Mbah” untuk menyebut
nama-nama pahlawan yang saya kenalkan pada Najwa. Bukan apa-apa, sih, biar kelihatan akrab saja, hehehe. Bisa jadi, Mbah Tjokroaminoto
lah yang menyebabkan ide itu meluncur begitu saja di otak saya. Dan Mbah Tjokroaminoto pulalah yang menjadi pahlawan pertama dalam dongeng pengantar tidur saya untuk anak-anak.
Saya katakan pada Najwa, bahwa buku ini adalah buku cerita
sejarah. Tentang negara kita Indonesia, tentang para pendirinya, tentang para
pahlawan yang berjuang memerdekakan bangsa kita. Untuk beberapa waktu Najwa
terdiam, sebelum akhirnya dia bertanya, apakah Mbah Tjokroaminoto itu juga
pahlawan? Pahlawan itu apa? Merdeka itu apa?
Saya pun melanjutkan dengan mengiyakan bahwa Tjokroaminoto
adalah pahlawan. Pahlawan yang menjadi guru para pendiri bangsa Indonesia.
Sedangkan pahlawan adalah orang-orang yang berjuang untuk merebut kemerdekaan
bangsa Indonesia. Dan tentu saja saya melanjutkan tentang apa itu merdeka.
Bahwa kemerdekaan adalah kebebasan. Saat kita merdeka artinya kita tidak dijajah lagi. Tidak ada yang membatasi ruang gerak kita, tidak ada yang memerintah dengan semau mereka.
Bahwa kemerdekaan adalah kebebasan. Saat kita merdeka artinya kita tidak dijajah lagi. Tidak ada yang membatasi ruang gerak kita, tidak ada yang memerintah dengan semau mereka.
Rupanya Najwa lebih tertarik dengan cerita kemerdekaan
bangsa kita ketimbang kelanjutan cerita Mbah Tjokroaminoto sendiri. Maka dari
situ dia mulai bertanya lagi.
“Memang kita pernah dijajah, Buk?”
Saya kembali mengiyakannya. Dulu sebelum proklamasi
kemerdekaan yang biasanya diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Yang biasanya ada panggung
hiburan dan lomba-lomba. Negara Ind
onesia dijajah oleh Belanda selama ratusan tahun. Pada saat itu sudah banyak pahlawan seperti halnya Mbah Tjokroaminoto yang berjuang untuk kemerdekaan.
onesia dijajah oleh Belanda selama ratusan tahun. Pada saat itu sudah banyak pahlawan seperti halnya Mbah Tjokroaminoto yang berjuang untuk kemerdekaan.
Saya menggambarkan situasi saat penjajahan itu sangat tidak
enak. Menderita, susah, ketakutan, karena kita diatur oleh bangsa lain. Makan
enak susah, mau jalan-jalan juga nggak seenak zaman sekarang. Enggak semua anak
boleh sekolah. Jadi, pada masa penjajahan
hidup sangat tidak bahagia. Kemudian, saya meminta Najwa
membayangkannya.
Najwa sedikit ketakutan dan matanya agak memerah. Saya
berkata padanya bahwa Najwa enggak perlu takut, karena masa itu telah berlalu dan
hanya tinggal sejarah. Tapi kemudian saya terus meyakinkan kepadanya, bahwa
sejarah bangsa ini tidak untuk dilupakan begitu saja.
“ Ingatlah, agar engkau dapat menghargai jasa-jasa pahlawan kita. Ingatlah agar engkau tahu bahwa kemerdekaan ini tidak gratis, harus dibayar dengan perjuangan. Maka tugas orang-orang yang sudah merdeka adalah bekerja keras, belajar dan membawa kemajuan bagi negara ini.”
Najwa masih khidmat menyimak saya. Kemudian saya pun
mengejutkannya dengan mengatakan bahwa Mbah Buyut Najwa adalah salah satu dari
orang-orang yang ikut merebut kemerdekaan.
“Beneran, Buk?”
Ya, Mbah Kakung saya, yang kemudian menjadi Mbah Buyut Najwa
adalah seorang pejuang. Sempat direkrut Heiho dan kemudian bergabung dengan
TNI-AD pada zaman kemerdekaan. Sedangkan Mbah Kakung suami, yang kemudian juga
menjadi Mbah Buyut Najwa juga. Beliau
ikut bergerilya pada tahun 1950-an dan kemudian mendapat tugas memegang Civiel
Bestuur Darurat di Banyuwangi.
Mereka adalah pejuang, bersama dengan ribuan pejuang lainnya
yang ikut memperjuangkan bahkan mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Walaupun
tanpa gelar ataupun sebutan sebagai pahlawan.
![]() |
| Sejarah adalah masa lalu sebagai pelajaran meniti masa depan. |
Menemukan kebanggaan dari sejarah kakek buyutnya yang ikut
berjuang, mata Najwa mulai berbinar-binar. Rasa penasarannya tentang bangsa ini semakin memuncak. Begitu pun halnya dengan semangatnya untuk terus bercita-cita.
Ingin menjadi pemberani, enggak mau jadi anak bodoh karena takut dijajah lagi,
begitu yang diucapkannya kepada saya.
Bagi saya sendiri, menjadikan cerita sejarah sebagai bagian
dari dongeng menjelang tidur hanyalah sebuah upaya untuk
mengingatkan diri sendiri. Bahwa sejarah
suatu bangsa ataupun sejarah dalam
setiap keluarga bisa dibilang selalu unik, monumental dan menegaskan jati diri
setiap orang.
Baca juga: Nilai yang Dapat Ditanamkan dalam Keluarga
Baca juga: Nilai yang Dapat Ditanamkan dalam Keluarga
Ada pelajaran yang
selalu diharapkan dapat membentuk karakter penerusnya. Karakter yang terbentuk
dalam diri masing-masing individu inilah yang kemudian mengantarkan mereka
dalam sebuah cerita baru, sejarah yang akan menuliskan bagaimana dia akan dikenang nantinya.
Sejarah, apapun itu sejarahnya, seharusnya menuntun kita
untuk memetik hikmah. Bukan memperdebatkan hal yang sama-sama tidak pernah dialami.
Tapi mengambil pelajaran sebagai pengingat agar tak mengulang yang tak perlu
terjadi lagi. Tapi melanjutkan yang sudah lebih dulu dimulai.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia.
#ODOPOKT1
Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia.
#ODOPOKT1






































Benar sekali, meski baik dan buruk, selalu ada yang bisa kita petik dari sebuah sejarah di masa lalu...
ReplyDeleteBenar, Mbak..
ReplyDeleteTak perlu perdebatan yang berujung pangkal, harusnya ungat yang dulu sebagai pemicu, agar langkah ke depan pebuh kehati-hatian :)
Wah ... Serunya bercerita tentang sejarah pada mbak Najwa, apalagi kakek-kakek buyutnya mantan pejuang. Betapa bangganya dia :)
ReplyDeleteMasyaa Allaah, Najwa pintar yah.
ReplyDeleteSama, Mba anakku juga nanya tentang sejarah kemerdekaan terutama tentang penjajahan karena belum masuk pelajaran di sekolahnya
Faiz juga sedang suka-sukanya nanya kenapa kita dijajah, kok kita dijajah? dijajah apanya? gimananya ngejajahnya? hem, Faiz anak usia 7 tahun sedang ingin tahu tentang penjajahan karena mendengar berbagai pemberitaan, apalagi pas peringatan 17 agustus 2017. Dia nanya, kemerdekaan itu apa..huaaaa. Eh, unik juga Mbak, mengenalkan penyebutan nama pahlawan dengan sebutan, Mbah
ReplyDelete